Jumat, 20 Mei 2011

KETIKA JABATAN MENJADI UJIAN

Bismillahirrahmaanirrahiim. Hari ini adalah hari pertamaku di tahun ajaran baru, tepatnya tahun ketiga, di SMP ku tercinta. Aku terjebak di kelas yang asing, belum banyak teman yang kukenal di sini. Namun, kutekadkan untuk melakukan yang  terbaik demi mencapai happy ending, lulus dengan nilai memuaskan.
Tak kuduga, di hari perkenalan dengan wali kelas ini, aku mendapatkan kehormatan menjadi bendahara. Dan tidak main-main, langsung menjadi bendahara pertama. Kupikir, hal ini adalah sebuah awal yang sangat membanggakan, karena aku anak baru di kelas ini, tetapi mereka, teman-teman sekelasku, mempercayakanku untuk memegang jabatan itu. Dan lagi, tak pernah kuprediksi sama sekali jika nanti akan terjadi hal-hal tak menyenangkan yang menjadi ujian kehidupanku.
***
Hari-hariku menjadi bendahara tampaknya membuatku sedikit bingung. Aku masih amatir, karena ini adalah pengalaman pertamaku menjadi bendahara. Aku merasa malu dan takut ketika deadline pembayaran kas datang. Seminggu Rp 500,00. Tidak berat, sebenarnya, namun sangat berat bagiku untuk menagih uang “sekecil” itu kepada teman-temanku, apalagi terhadap laki-laki. Mereka belum terlalu kukenal, masa kumintai uang. Setiap jadwal penagihan uang kas, pasti dilema itu datang. Situasi yang paling sering terjadi adalah, perang batin. Namun, aku mencoba melawan rasa malu dan takutku.
“Emm, Yog, kas, 500 ya. Bisa?”, kataku kepada Yogi, ketua kelasku.
“Oh, ya, bentar…”, jawabnya sambil merogoh kantong bajunya. ”Ini!”, dia menyerahkan sekeping uang lima ratusan.
“Makasih ya. Oh iya, bisa tolong mintain ke sebelah-sebelahmu?”, tanyaku lagi. Aku mencari cara agar efektif dalam menagih.
“Hemm, iya iya. Hey, Gih, Do, Fidh, cepetan bayar kas tuh! Oh iya, Fidh, bukannya kamu juga bendahara? Bantuain Zian buat narikin kas! Eh, tapi kamu harus bayar dulu lho!”, katanya sambil menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya.
“Oke bos! Siap laksanakan! Mana-mana, bawa sini uangnya”, Hafidh, bendahara kedua, memasang pose “malak” ke teman-temannya. Semua teman-temannya yang “dipalak” pun tertawa sambil mengeluarkan kepingan uang logam lima ratusan dari kantongnya.
Nyoh Zi, uangnya. Gimana kalau aku bantu?”, Hafidh menawarkan diri.
“Hehe, makasih ya. Boleh, boleh banget. Kamu narikin yang cowok, aku yang cewek ya?”, pintaku. Sebenarnya aku sangat senang, karena aku tidak akan terlalu malu lagi di tiap minggunya jika dia mau membantuku.
“Ok!”, jawabnya penuh semangat.
Alhamdulillah, ternyata perasaan dilemaku telah terselesaikan sekarang, karena Hafidh mau membantuku. Semoga saja dia mau membantuku secara rutin seminggu sekali.
***
Beberapa waktu kemudian, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya aku selalu mengurus tugas bendahara sendiri. Membawa buku kas, uang kas, mencatat pengeluaran, memfotokopikan materi, hampir semuanya, kecuali menagih uang kas. Bukannya tidak ikhlas, tetapi sesama bendahara seharusnya saling membantu. Akhirnya kuputuskan untuk berbicara dengan Hafidh.
“Fidh, perasaan kok tugas bendahara kupegang semua ya?”, kataku membuka pembicaraan.
“He? Iya to? Lha tiap seminggu aku udah bantuin buat narikin kas kan?”, jawabnya.
“Itu kan kalau aku minta tolong, terus masih banyak tugas yang lain lho. Fotocopy tugas, bawa buku dan uang kas, dan lain-lain. Kamu bisa bantu gak?”, terangku sambil berharap.
“Tergantung, yang mana dulu tugasnya?”, Hafidh bertanya dengan nada sedikit menantang.
“Ya bawa buku kas beserta uangnya dong! Mau ya? Capek nih, bawa beginian terus”, pintaku.
“Wah, ya gak bisa dong. Kalau aku gak mau, gimana?”, tolaknya, masih dengan nada menantang.
“Ya harus mau! Gak boleh nggak! Please, ya?”, pintaku lagi.
“Gak mau ah, bawa aja sendiri. Kamu kan cewek”, jawabnya.
“Eh, emang hubungannya apa? Kamu kan juga bisa bawain. Ya kan, Yog?”, aku melihat Yogi yang memperhatikan kami saling eyel-eyelan.
“He? Iya, bener. Bener tuh, Fidh, kata Zian. Harusnya kamu mau dong, kamu kan juga bendahara”, Yogi menyahut mendukungku.
“Eh, kok malah belain Zian sih, Yog? Gak mau ah!”, tolak Hafidh, kesal.
“Hey, gak boleh lari dari tanggung jawab! Sini, ini bukunya!”, kataku sambil mencoba memasukkan buku kas ke dalam tas Hafidh.
“Eh, Eh, tidak bisaaa…”, Hafidh menghindar sambil menjauhkan tasnya.
“Curaaang!”, teriakku.
Hafidh mulai berlari memutari kelas. Aku mengejar di belakangnya. Kami kejar-kejaran sampai di lapangan sekolah. Sulit sekali menangkapnya. Jelas saja, dia kan laki-laki, sedangkan aku perempuan. Larinya laki-laki pasti lebih kencang.
“Hey, curaaang…. Sini, cepet, gantian dong bawanya…”, teriakku sambil berlari.
“Gak mau week! Gak mauu….”, teriaknya mengejekku.
Selama kira-kira 15 menit aku mengejar, lama-kelamaan aku capek juga. Akhirnya aku berhenti berlari, aku menyerah.
Yowis, yowis. Aku aja yang bawa wis. Tapi kamu tetep harus narikin lho! Awas kalau nggak!”, ancamku sambil terengah-engah kelelahan.
“Hehe, nggak tau yaa, kalau aku mau… Daah!”, jawabnya dengan nada mengejek sambil berlari pulang.
“Hey! Pokoknya harus!”, teriakku sembari dia pergi.
Kejadian yang childish itu membuatku kapok sementara untuk berbicara pada bendahara kedua itu. Ingin rasanya mengganti bendahara kedua agar lebih mudah bekerja sama. Tapi aku belum berani mengatakannya kepada siapapun.
***
Sebagai bendahara kelas yang baik, aku selalu membawa buku kas beserta dompet yang tentunya berisi uang kas (karena bendahara kedua tidak mungkin membawanya). Suatu hari, terjadi hal yang sama sekali tak kuinginkan. Setelah istirahat kedua, aku membuka dompet kas yang kuletakkan di dalam tas. Betapa tekejutnya aku, ketika kulihat uang sebesar Rp 30.000,00 di dalam dompet itu lenyap. Padahal seingatku semua uang kas kubawa saat ke sekolah. Akhirnya, aku menceritakan hal ini ke Hafidh.
“Psst, Fidh, sini deh. Cepetan!”, aku memanggil Hafidh.
“Ada apa?”, Hafidh menghampiriku.
“Gawat nih, uang kas kita hilang tiga puluh ribu! Gimana nih?, tanyaku khawatir.
“He? Beneran? Masa? Kok bisa hilang? Gimana tuh Zi?”, tanyanya bertubi-tubi.
“Itulah, I don’t know, aku ninggalin dompetnya di kelas waktu istirahat pertama tadi. Terus, barusan aku liat, ee uangnya udah hilang segitu. Terus gimana ya? Aku gak punya uang buat ngganti uang kas nih. Kita patungan yuk?”, aku benar-benar sudah tidak bisa menahan rasa khawatirku.
”Udah, udah, kalo udah kejadian ya udah. Kita nggak usah lapor ke siapa-siapa dulu. Bener juga, kita patungan dulu aja buat nuker uangnya, biar nggak mencurigakan”, jawabnya.
”Iya deh, kalau gitu. Fifty fifty ya. Mana lima belasnya?”, aku meminta.
”Yap, nih. Pokoknya kita simpen dulu ya masalahnya”, Hafidh memberiku uang Rp 15.000,00 sambil meletakkan jari telunjuk ke depan mulutnya. Aku hanya mengangguk.
***
Semester pertama kulalui dengan sukses, tetapi bisa dibilang “kurang” di bidang kebendaharaan. Setelah kejadian “kejar-kejaran” itu, aku masih berusaha untuk berunding dengan Hafidh mengenai tugas bendahara. Tetapi, dia benar-benar tidak mau ikut andil dalam urusan keuangan kelas. Karena sudah tak tahan, aku melaporkan hal ini ke wali kelasku. Akhirnya, wali kelasku memutuskan Hafidh bertukar posisi dengan Iffah, yaitu menjadi Sie Agama Islam.
Kupikir, hal buruk tak akan terjadi lagi setelah bendahara 2 diganti. Karena Iffah adalah orang yang sangat meyakinkan. Dia tegas, dia juga sudah sangat mengenal dan dekat dengan teman-teman sekelas, sehingga masalah narikin uang kas sekarang menjadi sangat mudah, layaknya jalan tol, bebas hambatan. Namun ternyata, dugaanku salah besar. Uang kas hilang lagi sebesar Rp 20.000,00. Setelah kuceritakan sekilas tentang kejadian uang Rp 30.000,00 yang lalu, kali ini aku dan Iffah memberanikan diri untuk melaporkan kejadian ini ke wali kelas. Dan akhirnya guru BK, Pak Solikhan, melakukan suatu tindakan.
”Anak-anak, sekarang kalian keluarkan sesobek kertas kecil”, setelah masuk kelas Pak Solikhan langsung berkata to the point, dan sukses membuat semua siswa bingung.
”Kalau sudah, sekarang kalian tulis pengakuan, tadi mbak Zian laporan ke wali kelas dan saya kalau uang kas hilang dua kali, tiga puluh dan dua puluh ribu. Kalian jujur di kertas itu, tulis ”ya” kalau kalian mengambil, tulis ”tidak” kalau tidak mengambil. Nanti masing-masing saya beri segelas air putih. Kalau ada yang bohong, nggak mau ngaku kalau udah ngambil, nanti bisa gatal-gatal habis minum air putihnya. Air putihnya sudah saya doakan”, jelas beliau panjang lebar.
Setelah kertas pengakuan itu dikumpulkan, 40 gelas air putih dibagikan merata ke semua murid, termasuk aku. Setelah semua meminumnya, Pak  Solikhan keluar kelas. Aku mengerti, Pak Solikhan hanya menggertak pelaku, tidak ada hal yang istimewa dalam air putih tersebut. Hanya ada sebutir harapan yang tertinggal di kertas-kertas itu. Yang kupikir, butir itu terlalu kecil, bahkan tak terlihat. Dan setelah diproses oleh guru-guruku tadi, memang sangat tepat, tak ada yang menulis ”ya” di 40 kertas tadi. Tak ada maling yang ngaku! Butir harapan itu lenyap!
***
Dua kali uang yang hilang itu tidak pernah kembali ke bendahara. Uang kas telah hilang tanpa jejak sebanyak Rp 50.000,00. Tak ada petunjuk sama sekali. Jika jatuh, kurasa tak mungkin. Karena aku selalu meletakkannya di dalam tas. Jika diambil atau dengan kata lain dicuri, adalah yang paling mungkin. Memang kecerobohanku, dompet kas selalu kutinggalkan di dalam tas dan tidak kubawa saat aku meninggalkan kelas. Namun, jika kubawa, seperti yang telah kunyatakan, bisa saja jatuh, atau berbagai kemungkinan yang lain.
Kali ini, telah muncul nama-nama yang masul list tersangka. Termasuk Tina, salah satu kandidat terkuat. Menurut penuturan teman-teman yang pernah sekelas dengannya, Tina sudah memiliki reputasi buruk di mata semua orang, bahkan guru. Dia pernah ketahuan mengambil uang temannya, lalu dikembalikan lagi. Di mata guru, dia pernah tertangkap razia kosmetik. Jatuhlah namanya. Bagaimanapun, aku tidak bisa men-judge dia secara langsung. Belum ada bukti nyata. Aku harus berpikir obyektif tentang semua ini.
***
Hari demi hari berlalu, hingga kelulusan diumumkan. Alhamdulillah, angka 100% lulus didapatkan oleh SMP-ku ini. Bangganya aku, beserta teman-temanku telah bersekolah di sini. Kami pun menyiapkan acara perpisahan yang rencananya diadakan di sebuah hotel dengan dresscode kebaya untuk perempuan, hitam putih untuk laki-laki. Acara yang sederhana, namun akan berkesan nantinya.
Ketika perpisahan berlangsung, aku lebih banyak mondar-mandir karena aku menjadi Sie Konsumsi. Sehingga tasku kutinggalkan begitu saja di tempat dudukku. Aku membawa uang kas di dompet sebanyak Rp 100.000,00. Kutitipkan  tas seisi-isinya ke temanku, karena aku tak memiliki kantong di kebaya yang aku pakai. Tapi aku tak tahu, apakah benar-benar dijaga oleh temanku atau tidak.
Uang kas sebesar Rp 100.000,00 itu adalah sisa pembelian kenang-kenangan wali kelas. Aku berencana untuk membicarakannya dengan teman-teman, akan digunakan untuk apa uang itu. Apakah dibagikan lagi, atau membuat merchendise kelas. Semua tergantung keputusan yang kuharap akan muncul nanti, setelah dirundingkan.
Begitu sibuknya aku di belakang gedung, membuatku tak sempat bersantai-santai saat perpisahan. Hanya sebentar aku duduk, dan kebetulan, aku duduk di sebelah Tina. Aku sama sekali tak berpikir negatif. Sesaat kemudian, 10 besar lulusan terbaik dipanggil, dan aku maju ke atas panggung ditemani ibuku tersayang. Dan setelah Kepala Sekolah memberi selamat kepada 10 lulusan terbaik, semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Aku merasa sangat terhormat karena teman-teman meminta fotoku.
Suasana begitu ramai saat band-band sekolah unjuk gigi di atas pentas. Hingga penghujung acara pun tiba. Ketika hampir semua pengunjung berduyun-duyun pulang, aku mengambil tasku. Aku mulai memriksa barang-barang di dalam tasku. Hampir saja aku pingsan setelah menyadari bahwa kata ”nihil” telah mengisi tasku, tepatnya sebagian tasku. Dompet kas beserta isinya telah lenyap. Padahal aku ingat betul tadi dompetnya ada di dalam tasku.
Pikiranku kacau, mulai tak karuan, tak berirama. Teman-temanku berusaha menenangkanku. Meskipun aura gelisah mereka terpancar, mereka takut aku kenapa-kenapa. Mereka tak mengerti beban pikiranku saat ini, mereka tak kuberi tahu tentang kejadian terakhir yang menimpaku. Aku tak mengerti apa yang telah aku lakukan. Mengapa aku membawa uang itu? Hiruk pikuk perpisahan kelas pastinya tak akan menyisakan waktu senggang untuk membahas uang kas. Aku terus mengutuki diriku sendiri. Bodohnya diriku.
***
Aku pusing… Aku bingung… Aku tak berguna sebagai bendahara… Apa yang kulakukan selama ini? Dimulai dari perdebatan awal masalah bendahara, insiden kejar-kejaran, pergantian bendahara, sampai yang paling parah yaitu tiga kali kehilangan uang. Semua adalah konflik, perjalananku sebagai bendahara tak pernah mulus. Aku tak kunjung menyadari hal itu hingga di ujung waktu kenaikan jenjang.
Bisa-bisanya total uang kas yang hilang mencapai Rp 150.000,00. Dan semua itu, semua uang itu entah berada di mana sekarang. Masalah yang masih menjadi misteri hingga akhir kisahku di SMP. Gantung, rasanya aku kurang puas dengan segala hasil jerih yang terlalu payah ini. Saat yang tepat untuk introspeksi diriku.
***
Hilangnya sisa uang kas baru kulaporkan ke Iffah saat mengambil STTB, yaitu saat kami semua sudah pergi ke dunia SMA. Aku menceritakan detail kejadian saat itu.
”Fah, aku mau cerita. Penting banget nih”, aku memulai cerita.
”Apa Zi? Masalah bendahara?”, jawabnya antusias.
”Iya Fah, tepat. Tau nggak, kita kehilangan uang kas lagi. Dan ini yang paling besar, Rp 100.000,00! Bayangkan!”, kataku menggebu-gebu.
”Ha? Kapan Zi?”, tanyanya terkejut.
”Waktu perpisahan dulu. Tasku kan aku taruh di kursi, terus aku bilang bla bla bla... Dan saat pulang, aku lihat, isi tasku berkurang. Dompetnya udah ilang gitu aja! Aku langsung pusing seketika”, jelasku runtut.
Astaghfirullah, kok gitu banget sih. Yaudah, kamu bilang aja ke Yogi. Kan tanggung jawab dia juga. Pasti dia tahu jalan keluarnya”, Iffah memberi saran.
”Iya deh, ntar aku dikira nilep sisa uang kas lagi kalo aku nggak lapor secara jujur. Makasih ya, Fah!”, aku ngeloyor pergi. Mencari batang hidung ketua kelasku. Setelah ke ujung kelas, akhirnya aku menemukannya, dan segera saja aku melaporkan kejadian itu.
”..... Padahal niatku pengin rundingan sekelas mau dipakai apa sisa kasnya. Tapi jadinya kayak gitu, Yog, terus gimana?”, kuceritakan lagi ke Yogi.
”Ya udah, itu memang bukan rezeki kita, Zi. Yang penting wali kelas kita kan udah dapat kenang-kenangan. Kita nggak perlu kenang-kenangan bersifat fisik, karena kita semua punya kenangan terindah selama di SMP ini. Memori adalah kenangan, kenangan yang membekas di hati. Jadi, kita ikhlaskan saja, toh teman-teman juga nggak nagih sisa uang kas ke kamu kan?”, Yogi memberi pencerahan.
”Eh, enggak kok. Nggak pada minta. Mereka diem aja kok”, jawabku masih melongo karena nasehatnya tadi.
“Yaudah, kalau gitu, masalah selesai. Nggak perlu diperpanjang lagi. Sekarang kita kan juga udah jadi anak SMA. Oh iya, kita satu SMA kan? Kita juga harus mendewasakan pikiran kita. Udah, lupain aja. Oke?”, pencerahan lagi, aku pun kembali dibuat melongo.
“Iya, Yog. Betul banget. Yaudah, makasih buanget ya, Yog! Jadi cerah lagi nih!”, aku melempar senyum.
“Yoi, sama-sama, Zi. Santai wae lho!”, sahutnya.
***
Kini, muncul desas-desus lagi bahwa pencuri seluruh uang kas adalah siswa yang diduga menderita kleptomania, suatu penyakit yang menyebabkan penderitanya secara sadar mengambil barang yang bukan miliknya untuk kepuasan dirinya, yang tidak lain adalah Tina. Apalagi karena saat perpisahan dulu, Tina duduk tepat di sebelahku. Meski kabar-kabar itu kerap mengalir, kubiarkan saja masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Karena aku tak peduli lagi apa kata orang. Aku selalu ingat pada kata ketua kelasku yang sangat inspiratif. Ikhlas, adalah kata kunci dari semua permasalahanku. Aku tak ingin memikirkan lagi masalah ruwet itu. Mulai saat ini, aku akan menjalani hidupku dengan segala keikhlasan, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar