Seakan menyaksikan film di televisi yang menceritakan kehidupan anak yang mengharukan karena kondisi sekolah yang memprihatinkan. Murid-murid yang memiliki semangat belajar tinggi untuk tetap melanjutkan sekolah dengan biaya sangat murah atau bahkan tanpa biaya. Namun, kasus yang terjadi bukan hanya di film, melainkan di kehidupan nyata. Bahkan di kehidupan nyata ini sekolah tidak gratis. Sekolah menarik bayaran, namun sangat tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dana yang didapat sekolah dari pihak wali murid belum cukup untuk menutup semua kebutuhan dalam keberlangsungan sekolah. Termasuk salah satunya adalah dana untuk renovasi sekolah.
Masih hangat di
benak masyarakat, berita mengenai kondisi sekolah yang nyaris rubuh.
Akhir-akhir ini jumlah sekolah yang mengalami situasi kritis ini semakin
bertambah. Murid-murid yang menuntut ilmu di sekolah yang bersangkutan menjadi
korban atas bangunan membahayakan tersebut. Mereka belajar dalam suasana yang
sama sekali tidak kondusif, karena ruangan yang biasa mereka tempati sangat
beresiko. Murid-murid malang itu harus menjalani kegiatan belajar mengajar di tempat
berbahaya itu sendiri, di tempat darurat, atau bahkan di teras depan kelas lain
yang bangunannya “belum terlalu” mengkhawatirkan.
Ironis. Mungkin kata itu yang paling
tepat untuk mengungkapkan segala kejadian tersebut. Murid-murid yang tidak
berdosa menjadi korban atas ketidaknyamanan di sekolah mereka sendiri. Mereka
tidak menyangka sejauh itu, bahwa mereka akan kehilangan ruang kelas yang biasa
mereka tempati. Mereka belum bisa berpikir, jika mereka tetap menempati ruangan
berbahaya itu nyawa taruhannya. Sewaktu-waktu bangunan sekolah bisa menimpa
mereka ketika sedang asyik belajar.
Nyawa sama sekali bukanlah hal yang
remeh temeh. Nyawa, dapat dikatakan sebagai hak hidup, yang mana telah menjadi
hak paling asasi yang dimiliki setiap orang. Murid-murid yang masih polos,dan
belum paham mengenai apa hubungan uang dengan birokrasi, dan sebagainya. Yang
mereka tahu uang hanya untuk jajan, untuk mengenyangkan perut mereka. Betapa
miris jika nyawa anak-anak yang tidak bersalah itu terancam hanya karena
birokrasi administrasi yang tidak mereka mengerti.
Dana alokasi pemerintah daerah untuk
renovasi sekolah sebenarnya sudah ada. Begitu yang selalu diungkapkan oleh
sejumlah pihak terkait. Bagaimanapun juga, dana renovasi sekolah bukanlah
fiktif belaka. Hal ini dapat melegakan pihak sekolah yang memang seharusnya
mendapatkan jatah alokasi dana tersebut. Sekolah dapat menarik kekurangan biaya
dari komite, sehingga pihak komite tidak terlalu terbebani dengan besarnya
biaya yang wajib dibayarkan.
Dana renovasi sekolah yang
dijanjikan pemerintah daerah kepada sekolah tersebut ternyata tidak dapat
langsung dicairkan. Proses pencairan dana tersebut membutuhkan waktu yang
relatif lama dan tentunya dengan birokrasi yang serba ribet. Pengalokasian dana
yang sudah diatur dalam anggaran dana hanya menjadi hiasan di mata mereka. Nyawa
dibandingkan dengan proses administrasi yang kompleks, dapat dikatakan tidak
mutu dan tidak manusiawi. Begitulah realita dunia pendidikan dari dulu hingga saat
ini.