Jumat, 20 Mei 2011

KETIKA JABATAN MENJADI UJIAN

Bismillahirrahmaanirrahiim. Hari ini adalah hari pertamaku di tahun ajaran baru, tepatnya tahun ketiga, di SMP ku tercinta. Aku terjebak di kelas yang asing, belum banyak teman yang kukenal di sini. Namun, kutekadkan untuk melakukan yang  terbaik demi mencapai happy ending, lulus dengan nilai memuaskan.
Tak kuduga, di hari perkenalan dengan wali kelas ini, aku mendapatkan kehormatan menjadi bendahara. Dan tidak main-main, langsung menjadi bendahara pertama. Kupikir, hal ini adalah sebuah awal yang sangat membanggakan, karena aku anak baru di kelas ini, tetapi mereka, teman-teman sekelasku, mempercayakanku untuk memegang jabatan itu. Dan lagi, tak pernah kuprediksi sama sekali jika nanti akan terjadi hal-hal tak menyenangkan yang menjadi ujian kehidupanku.
***
Hari-hariku menjadi bendahara tampaknya membuatku sedikit bingung. Aku masih amatir, karena ini adalah pengalaman pertamaku menjadi bendahara. Aku merasa malu dan takut ketika deadline pembayaran kas datang. Seminggu Rp 500,00. Tidak berat, sebenarnya, namun sangat berat bagiku untuk menagih uang “sekecil” itu kepada teman-temanku, apalagi terhadap laki-laki. Mereka belum terlalu kukenal, masa kumintai uang. Setiap jadwal penagihan uang kas, pasti dilema itu datang. Situasi yang paling sering terjadi adalah, perang batin. Namun, aku mencoba melawan rasa malu dan takutku.
“Emm, Yog, kas, 500 ya. Bisa?”, kataku kepada Yogi, ketua kelasku.
“Oh, ya, bentar…”, jawabnya sambil merogoh kantong bajunya. ”Ini!”, dia menyerahkan sekeping uang lima ratusan.
“Makasih ya. Oh iya, bisa tolong mintain ke sebelah-sebelahmu?”, tanyaku lagi. Aku mencari cara agar efektif dalam menagih.
“Hemm, iya iya. Hey, Gih, Do, Fidh, cepetan bayar kas tuh! Oh iya, Fidh, bukannya kamu juga bendahara? Bantuain Zian buat narikin kas! Eh, tapi kamu harus bayar dulu lho!”, katanya sambil menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya.
“Oke bos! Siap laksanakan! Mana-mana, bawa sini uangnya”, Hafidh, bendahara kedua, memasang pose “malak” ke teman-temannya. Semua teman-temannya yang “dipalak” pun tertawa sambil mengeluarkan kepingan uang logam lima ratusan dari kantongnya.
Nyoh Zi, uangnya. Gimana kalau aku bantu?”, Hafidh menawarkan diri.
“Hehe, makasih ya. Boleh, boleh banget. Kamu narikin yang cowok, aku yang cewek ya?”, pintaku. Sebenarnya aku sangat senang, karena aku tidak akan terlalu malu lagi di tiap minggunya jika dia mau membantuku.
“Ok!”, jawabnya penuh semangat.
Alhamdulillah, ternyata perasaan dilemaku telah terselesaikan sekarang, karena Hafidh mau membantuku. Semoga saja dia mau membantuku secara rutin seminggu sekali.
***
Beberapa waktu kemudian, aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya aku selalu mengurus tugas bendahara sendiri. Membawa buku kas, uang kas, mencatat pengeluaran, memfotokopikan materi, hampir semuanya, kecuali menagih uang kas. Bukannya tidak ikhlas, tetapi sesama bendahara seharusnya saling membantu. Akhirnya kuputuskan untuk berbicara dengan Hafidh.
“Fidh, perasaan kok tugas bendahara kupegang semua ya?”, kataku membuka pembicaraan.
“He? Iya to? Lha tiap seminggu aku udah bantuin buat narikin kas kan?”, jawabnya.
“Itu kan kalau aku minta tolong, terus masih banyak tugas yang lain lho. Fotocopy tugas, bawa buku dan uang kas, dan lain-lain. Kamu bisa bantu gak?”, terangku sambil berharap.
“Tergantung, yang mana dulu tugasnya?”, Hafidh bertanya dengan nada sedikit menantang.
“Ya bawa buku kas beserta uangnya dong! Mau ya? Capek nih, bawa beginian terus”, pintaku.
“Wah, ya gak bisa dong. Kalau aku gak mau, gimana?”, tolaknya, masih dengan nada menantang.
“Ya harus mau! Gak boleh nggak! Please, ya?”, pintaku lagi.
“Gak mau ah, bawa aja sendiri. Kamu kan cewek”, jawabnya.
“Eh, emang hubungannya apa? Kamu kan juga bisa bawain. Ya kan, Yog?”, aku melihat Yogi yang memperhatikan kami saling eyel-eyelan.
“He? Iya, bener. Bener tuh, Fidh, kata Zian. Harusnya kamu mau dong, kamu kan juga bendahara”, Yogi menyahut mendukungku.
“Eh, kok malah belain Zian sih, Yog? Gak mau ah!”, tolak Hafidh, kesal.
“Hey, gak boleh lari dari tanggung jawab! Sini, ini bukunya!”, kataku sambil mencoba memasukkan buku kas ke dalam tas Hafidh.
“Eh, Eh, tidak bisaaa…”, Hafidh menghindar sambil menjauhkan tasnya.
“Curaaang!”, teriakku.
Hafidh mulai berlari memutari kelas. Aku mengejar di belakangnya. Kami kejar-kejaran sampai di lapangan sekolah. Sulit sekali menangkapnya. Jelas saja, dia kan laki-laki, sedangkan aku perempuan. Larinya laki-laki pasti lebih kencang.
“Hey, curaaang…. Sini, cepet, gantian dong bawanya…”, teriakku sambil berlari.
“Gak mau week! Gak mauu….”, teriaknya mengejekku.
Selama kira-kira 15 menit aku mengejar, lama-kelamaan aku capek juga. Akhirnya aku berhenti berlari, aku menyerah.
Yowis, yowis. Aku aja yang bawa wis. Tapi kamu tetep harus narikin lho! Awas kalau nggak!”, ancamku sambil terengah-engah kelelahan.
“Hehe, nggak tau yaa, kalau aku mau… Daah!”, jawabnya dengan nada mengejek sambil berlari pulang.
“Hey! Pokoknya harus!”, teriakku sembari dia pergi.
Kejadian yang childish itu membuatku kapok sementara untuk berbicara pada bendahara kedua itu. Ingin rasanya mengganti bendahara kedua agar lebih mudah bekerja sama. Tapi aku belum berani mengatakannya kepada siapapun.
***
Sebagai bendahara kelas yang baik, aku selalu membawa buku kas beserta dompet yang tentunya berisi uang kas (karena bendahara kedua tidak mungkin membawanya). Suatu hari, terjadi hal yang sama sekali tak kuinginkan. Setelah istirahat kedua, aku membuka dompet kas yang kuletakkan di dalam tas. Betapa tekejutnya aku, ketika kulihat uang sebesar Rp 30.000,00 di dalam dompet itu lenyap. Padahal seingatku semua uang kas kubawa saat ke sekolah. Akhirnya, aku menceritakan hal ini ke Hafidh.
“Psst, Fidh, sini deh. Cepetan!”, aku memanggil Hafidh.
“Ada apa?”, Hafidh menghampiriku.
“Gawat nih, uang kas kita hilang tiga puluh ribu! Gimana nih?, tanyaku khawatir.
“He? Beneran? Masa? Kok bisa hilang? Gimana tuh Zi?”, tanyanya bertubi-tubi.
“Itulah, I don’t know, aku ninggalin dompetnya di kelas waktu istirahat pertama tadi. Terus, barusan aku liat, ee uangnya udah hilang segitu. Terus gimana ya? Aku gak punya uang buat ngganti uang kas nih. Kita patungan yuk?”, aku benar-benar sudah tidak bisa menahan rasa khawatirku.
”Udah, udah, kalo udah kejadian ya udah. Kita nggak usah lapor ke siapa-siapa dulu. Bener juga, kita patungan dulu aja buat nuker uangnya, biar nggak mencurigakan”, jawabnya.
”Iya deh, kalau gitu. Fifty fifty ya. Mana lima belasnya?”, aku meminta.
”Yap, nih. Pokoknya kita simpen dulu ya masalahnya”, Hafidh memberiku uang Rp 15.000,00 sambil meletakkan jari telunjuk ke depan mulutnya. Aku hanya mengangguk.
***
Semester pertama kulalui dengan sukses, tetapi bisa dibilang “kurang” di bidang kebendaharaan. Setelah kejadian “kejar-kejaran” itu, aku masih berusaha untuk berunding dengan Hafidh mengenai tugas bendahara. Tetapi, dia benar-benar tidak mau ikut andil dalam urusan keuangan kelas. Karena sudah tak tahan, aku melaporkan hal ini ke wali kelasku. Akhirnya, wali kelasku memutuskan Hafidh bertukar posisi dengan Iffah, yaitu menjadi Sie Agama Islam.
Kupikir, hal buruk tak akan terjadi lagi setelah bendahara 2 diganti. Karena Iffah adalah orang yang sangat meyakinkan. Dia tegas, dia juga sudah sangat mengenal dan dekat dengan teman-teman sekelas, sehingga masalah narikin uang kas sekarang menjadi sangat mudah, layaknya jalan tol, bebas hambatan. Namun ternyata, dugaanku salah besar. Uang kas hilang lagi sebesar Rp 20.000,00. Setelah kuceritakan sekilas tentang kejadian uang Rp 30.000,00 yang lalu, kali ini aku dan Iffah memberanikan diri untuk melaporkan kejadian ini ke wali kelas. Dan akhirnya guru BK, Pak Solikhan, melakukan suatu tindakan.
”Anak-anak, sekarang kalian keluarkan sesobek kertas kecil”, setelah masuk kelas Pak Solikhan langsung berkata to the point, dan sukses membuat semua siswa bingung.
”Kalau sudah, sekarang kalian tulis pengakuan, tadi mbak Zian laporan ke wali kelas dan saya kalau uang kas hilang dua kali, tiga puluh dan dua puluh ribu. Kalian jujur di kertas itu, tulis ”ya” kalau kalian mengambil, tulis ”tidak” kalau tidak mengambil. Nanti masing-masing saya beri segelas air putih. Kalau ada yang bohong, nggak mau ngaku kalau udah ngambil, nanti bisa gatal-gatal habis minum air putihnya. Air putihnya sudah saya doakan”, jelas beliau panjang lebar.
Setelah kertas pengakuan itu dikumpulkan, 40 gelas air putih dibagikan merata ke semua murid, termasuk aku. Setelah semua meminumnya, Pak  Solikhan keluar kelas. Aku mengerti, Pak Solikhan hanya menggertak pelaku, tidak ada hal yang istimewa dalam air putih tersebut. Hanya ada sebutir harapan yang tertinggal di kertas-kertas itu. Yang kupikir, butir itu terlalu kecil, bahkan tak terlihat. Dan setelah diproses oleh guru-guruku tadi, memang sangat tepat, tak ada yang menulis ”ya” di 40 kertas tadi. Tak ada maling yang ngaku! Butir harapan itu lenyap!
***
Dua kali uang yang hilang itu tidak pernah kembali ke bendahara. Uang kas telah hilang tanpa jejak sebanyak Rp 50.000,00. Tak ada petunjuk sama sekali. Jika jatuh, kurasa tak mungkin. Karena aku selalu meletakkannya di dalam tas. Jika diambil atau dengan kata lain dicuri, adalah yang paling mungkin. Memang kecerobohanku, dompet kas selalu kutinggalkan di dalam tas dan tidak kubawa saat aku meninggalkan kelas. Namun, jika kubawa, seperti yang telah kunyatakan, bisa saja jatuh, atau berbagai kemungkinan yang lain.
Kali ini, telah muncul nama-nama yang masul list tersangka. Termasuk Tina, salah satu kandidat terkuat. Menurut penuturan teman-teman yang pernah sekelas dengannya, Tina sudah memiliki reputasi buruk di mata semua orang, bahkan guru. Dia pernah ketahuan mengambil uang temannya, lalu dikembalikan lagi. Di mata guru, dia pernah tertangkap razia kosmetik. Jatuhlah namanya. Bagaimanapun, aku tidak bisa men-judge dia secara langsung. Belum ada bukti nyata. Aku harus berpikir obyektif tentang semua ini.
***
Hari demi hari berlalu, hingga kelulusan diumumkan. Alhamdulillah, angka 100% lulus didapatkan oleh SMP-ku ini. Bangganya aku, beserta teman-temanku telah bersekolah di sini. Kami pun menyiapkan acara perpisahan yang rencananya diadakan di sebuah hotel dengan dresscode kebaya untuk perempuan, hitam putih untuk laki-laki. Acara yang sederhana, namun akan berkesan nantinya.
Ketika perpisahan berlangsung, aku lebih banyak mondar-mandir karena aku menjadi Sie Konsumsi. Sehingga tasku kutinggalkan begitu saja di tempat dudukku. Aku membawa uang kas di dompet sebanyak Rp 100.000,00. Kutitipkan  tas seisi-isinya ke temanku, karena aku tak memiliki kantong di kebaya yang aku pakai. Tapi aku tak tahu, apakah benar-benar dijaga oleh temanku atau tidak.
Uang kas sebesar Rp 100.000,00 itu adalah sisa pembelian kenang-kenangan wali kelas. Aku berencana untuk membicarakannya dengan teman-teman, akan digunakan untuk apa uang itu. Apakah dibagikan lagi, atau membuat merchendise kelas. Semua tergantung keputusan yang kuharap akan muncul nanti, setelah dirundingkan.
Begitu sibuknya aku di belakang gedung, membuatku tak sempat bersantai-santai saat perpisahan. Hanya sebentar aku duduk, dan kebetulan, aku duduk di sebelah Tina. Aku sama sekali tak berpikir negatif. Sesaat kemudian, 10 besar lulusan terbaik dipanggil, dan aku maju ke atas panggung ditemani ibuku tersayang. Dan setelah Kepala Sekolah memberi selamat kepada 10 lulusan terbaik, semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Aku merasa sangat terhormat karena teman-teman meminta fotoku.
Suasana begitu ramai saat band-band sekolah unjuk gigi di atas pentas. Hingga penghujung acara pun tiba. Ketika hampir semua pengunjung berduyun-duyun pulang, aku mengambil tasku. Aku mulai memriksa barang-barang di dalam tasku. Hampir saja aku pingsan setelah menyadari bahwa kata ”nihil” telah mengisi tasku, tepatnya sebagian tasku. Dompet kas beserta isinya telah lenyap. Padahal aku ingat betul tadi dompetnya ada di dalam tasku.
Pikiranku kacau, mulai tak karuan, tak berirama. Teman-temanku berusaha menenangkanku. Meskipun aura gelisah mereka terpancar, mereka takut aku kenapa-kenapa. Mereka tak mengerti beban pikiranku saat ini, mereka tak kuberi tahu tentang kejadian terakhir yang menimpaku. Aku tak mengerti apa yang telah aku lakukan. Mengapa aku membawa uang itu? Hiruk pikuk perpisahan kelas pastinya tak akan menyisakan waktu senggang untuk membahas uang kas. Aku terus mengutuki diriku sendiri. Bodohnya diriku.
***
Aku pusing… Aku bingung… Aku tak berguna sebagai bendahara… Apa yang kulakukan selama ini? Dimulai dari perdebatan awal masalah bendahara, insiden kejar-kejaran, pergantian bendahara, sampai yang paling parah yaitu tiga kali kehilangan uang. Semua adalah konflik, perjalananku sebagai bendahara tak pernah mulus. Aku tak kunjung menyadari hal itu hingga di ujung waktu kenaikan jenjang.
Bisa-bisanya total uang kas yang hilang mencapai Rp 150.000,00. Dan semua itu, semua uang itu entah berada di mana sekarang. Masalah yang masih menjadi misteri hingga akhir kisahku di SMP. Gantung, rasanya aku kurang puas dengan segala hasil jerih yang terlalu payah ini. Saat yang tepat untuk introspeksi diriku.
***
Hilangnya sisa uang kas baru kulaporkan ke Iffah saat mengambil STTB, yaitu saat kami semua sudah pergi ke dunia SMA. Aku menceritakan detail kejadian saat itu.
”Fah, aku mau cerita. Penting banget nih”, aku memulai cerita.
”Apa Zi? Masalah bendahara?”, jawabnya antusias.
”Iya Fah, tepat. Tau nggak, kita kehilangan uang kas lagi. Dan ini yang paling besar, Rp 100.000,00! Bayangkan!”, kataku menggebu-gebu.
”Ha? Kapan Zi?”, tanyanya terkejut.
”Waktu perpisahan dulu. Tasku kan aku taruh di kursi, terus aku bilang bla bla bla... Dan saat pulang, aku lihat, isi tasku berkurang. Dompetnya udah ilang gitu aja! Aku langsung pusing seketika”, jelasku runtut.
Astaghfirullah, kok gitu banget sih. Yaudah, kamu bilang aja ke Yogi. Kan tanggung jawab dia juga. Pasti dia tahu jalan keluarnya”, Iffah memberi saran.
”Iya deh, ntar aku dikira nilep sisa uang kas lagi kalo aku nggak lapor secara jujur. Makasih ya, Fah!”, aku ngeloyor pergi. Mencari batang hidung ketua kelasku. Setelah ke ujung kelas, akhirnya aku menemukannya, dan segera saja aku melaporkan kejadian itu.
”..... Padahal niatku pengin rundingan sekelas mau dipakai apa sisa kasnya. Tapi jadinya kayak gitu, Yog, terus gimana?”, kuceritakan lagi ke Yogi.
”Ya udah, itu memang bukan rezeki kita, Zi. Yang penting wali kelas kita kan udah dapat kenang-kenangan. Kita nggak perlu kenang-kenangan bersifat fisik, karena kita semua punya kenangan terindah selama di SMP ini. Memori adalah kenangan, kenangan yang membekas di hati. Jadi, kita ikhlaskan saja, toh teman-teman juga nggak nagih sisa uang kas ke kamu kan?”, Yogi memberi pencerahan.
”Eh, enggak kok. Nggak pada minta. Mereka diem aja kok”, jawabku masih melongo karena nasehatnya tadi.
“Yaudah, kalau gitu, masalah selesai. Nggak perlu diperpanjang lagi. Sekarang kita kan juga udah jadi anak SMA. Oh iya, kita satu SMA kan? Kita juga harus mendewasakan pikiran kita. Udah, lupain aja. Oke?”, pencerahan lagi, aku pun kembali dibuat melongo.
“Iya, Yog. Betul banget. Yaudah, makasih buanget ya, Yog! Jadi cerah lagi nih!”, aku melempar senyum.
“Yoi, sama-sama, Zi. Santai wae lho!”, sahutnya.
***
Kini, muncul desas-desus lagi bahwa pencuri seluruh uang kas adalah siswa yang diduga menderita kleptomania, suatu penyakit yang menyebabkan penderitanya secara sadar mengambil barang yang bukan miliknya untuk kepuasan dirinya, yang tidak lain adalah Tina. Apalagi karena saat perpisahan dulu, Tina duduk tepat di sebelahku. Meski kabar-kabar itu kerap mengalir, kubiarkan saja masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Karena aku tak peduli lagi apa kata orang. Aku selalu ingat pada kata ketua kelasku yang sangat inspiratif. Ikhlas, adalah kata kunci dari semua permasalahanku. Aku tak ingin memikirkan lagi masalah ruwet itu. Mulai saat ini, aku akan menjalani hidupku dengan segala keikhlasan, Insya Allah.

BETWEEN FRIEND AND TRAITOR


            Aku sudah siap berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Bahkan di luar masih berkabut tebal. Penampilanku berbeda dari 2 tahun sebelumnya. Karena di kelas 9 SMP ini aku memakai jilbab. Dengan bangga kuberdiri di depan cermin. Mematut-matut diri, membenarkan posisi jilbab, tentu saja sambil tersenyum. Saat diriku merasa benar-benar siap untuk mengawali tahun ketigaku di SMP, kupanggil kakakku yang masih bersantai-santai di dalam kamarnya agar bersiap untuk mengantarku.
            Agak canggung kumasuki sekolahku tercinta. Aku jadi teringat kata-kata temanku, bahwa aku akan masuk kelas 9A. Padahal seharusnya aku masuk di kelas 9G, jika dilihat dari kelas asalku. Dan ternyata, kekhawatiranku terbukti. Aku menemukan nama VIRA YUNITASARI nomor absen 26 di daftar nama siswa kelas 9A. Yang berarti aku harus beradaptasi dengan lingkungan kelas yang baru. Untung saja ada Selly yang menawarkan diri untuk menjadi teman sebangkuku. Tetapi, saat itu teman Selly mengatakan hal yang menurutku sangat aneh. “Wah, Vir, kamu harus hati-hati lho! Sebelahmu setan kamunya malaikat! Jangan sampai terpengaruh!”. Aku yang tak mengerti maksud kata itu hanya tersenyum, dan aku siap menjalani tahun ketigaku di SMP tercinta ini dengan semangat baru.
***
            Aku dan Selly memiliki teman yang bernama Irene. Irene berjilbab saat kelas 9 juga, sama denganku. Bedanya, aku berjilbab karena kemantapan hatiku, sedangkan Irene disuruh ibunya. Yang membuatku jengkel, bukan sifatnya semakin baik, tetapi justru menjadi lebih buruk. Dia dan Selly sangat kompak. Mulai dari “caper” terhadap laki-laki, terhadap guru, mencontek saat ulangan, pinjam uang seenaknya, bahkan bisik-bisik membicarakan orang lain tepat di sebelah orang yang dibicarakan tersebut. Bagaimana tidak sebal? Aku dan Lita, teman dekatku, sangat risih saat berjalan bersama mereka. Aku pun mulai berpikiran macam-macam terhadap mereka. Saat suudzon itu muncul, aku segera ber-Istighfar. Menghilangkan suudzon terhadap mereka sangat sulit, karena tingkah mereka semakin menjadi-jadi. Dan orang lain mengatakan bahwa aku dijadikan teman oleh mereka hanya untuk dimanfaatkan.
***
            Suatu hari, Selly bercerita bahwa ayahnya masuk rumah sakit karena jatuh dari atap rumah saat memperbaiki antena. Anehnya, tak ada ekspresi sedih di raut mukanya. Ah, biarlah. Toh, sikapnya memang seperti itu. Tetapi, siangnya Irene dan Selly datang ke rumahku.
            “Vir, kita boleh nginap di rumahmu hari ini apa gak?”, tanya Selly.
            “Loh, memangnya kalian sudah izin sama ortu kalian?”, aku balik bertanya.
            “Kami sudah ngomong kok! Gimana, boleh apa gak?”, kata Irene.
            “Sebentar ya, aku tanya ibuku dulu”, jawabku.
            Aku langsung berlari ke arah ibuku dan menanyakannya. Kata ibuku boleh, asal sudah izin. Mereka kugiring ke dalam kamarku. Tak lama kemudian, Selly menelepon ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Aku heran, padahal tadi dia mengatakan sudah izin, ternyata masih akan menelepon ibunya. Sekilas kudengar perbincangannya di telepon dengan ibunya yang menurutku sedikit agak
“kasar”. Sungguh, dari pembicaraan ibu dan anak tadi adalah hal yang sangat mencurigakan. Sepertinya Selly sangat memaksa ibunya untuk mengizinkannya menginap di rumahku. Mereka layaknya telah mempersiapkan sebuah rencana jauh-jauh hari untuk melakukan suatu misi. Disinilah aku mulai menemukan keganjilan yang kupikir hanya sekali. Tetapi aku tak tahu bahwa masih banyak keganjilan-keganjilan yang menyusul nantinya.
Setelah meminta izin kepada ibunya, dia menutup telepon. Saat adzan Ashar berkumandang, aku mempersilakan mereka sholat. Mereka mengatakan bahwa mereka sedang berhalangan, lalu mereka meminta pembalut. Aku memberi tahu letak pembalut ada di laci lemari bagian atas. Setelah itu aku meninggalkan mereka untuk mandi dan sholat. Saat mereka mandi, aku melakukan pemeriksaan kamar. Apakah ada barang yang hilang atau tidak. Karena aku benar-benar sudah mencium hawa ketidakberesan dalam diri mereka. Aku menemukan keganjilan kedua, barang yang seharusnya berkurang justru tetap utuh, yaitu pembalut. Mereka berbohong tak hanya denganku, tetapi juga dengan Allah. Karena mereka berani tidak melaksanakan sholat. Padahal berjilbab, tetapi tak bisa menjaga sikap.
Saat mereka masuk kamarku, aku langsung menutup laci lemari atas itu dan berpura-pura tidak melakukan apapun. Usai kegiatan “bersih sore”, kami bertiga berjalan menuju counter untuk membeli pulsa. Lama kami menunggu penjual pulsa keluar rumah, tetapi tak kunjung datang, dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku mengirim SMS ke Lita.
            Aslkm. Ta, km bsa datg ke rmh ku bakda Maghrib apa gak? Selly ma Irene nginep d rmh ku ni, gmn?bls.
            Lalu, langsung ada jawaban.
            Ya, Insya Allah bakda Maghrib aku k rmh mu
Lega rasanya, karena sesampainya di rumah, Lita datang. Lalu kami semua berangkat ke rumah Selly naik mobil ayahku untuk mengambil barang yang ketinggalan. Sebenarnya, permintaan Selly kepadaku agar bapakku mau mengantar kami ke rumanya benar-benar menjadi tanda tanya. Mengapa mereka menginap tanpa persiapan yang matang? Apa mereka hanya main-main? Tetapi bapakku menyetujui saja dan mengantar kami dengan mengendarai mobil. Yang aneh lagi, di rumah Selly masih ada kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Sekilas kudengar dari mobil bahwa Selly diminta tidak usah menginap ke rumahku, takut merepotkan. Namun, sesaat kemudian Selly dan Irene datang ke gerbang dengan menjinjing satu plastik kresek besar baju ganti mereka. Lalu segera naik ke mobil, yang artinya mereka jadi melanjutkan niat mereka untuk menginap di rumahku. Sepulang dari rumah Selly, kami berhenti ke counter untuk membeli pulsa. Tiba-tiba Selly memberiku isyarat untuk pura-pura membeli pulsa untuk dirinya. Pertama aku tak mengerti, tetapi aku menurut saja. Saat di mobil, Selly menjelaskannya padaku. Aku sedikit mengerti. Ternyata dia tidak ingin pulsanya dihabiskan oleh Irene. Dan benar saja, setibanya di rumah, Irene meminjam handphone-ku. Saat dikembalikan, pulsaku berkurang banyak. Aku berusaha cuek.
Ketika kami sedang ngobrol di kamarku, tiba-tiba seseorang datang ke rumahku. Ternyata kakak Selly. Sebelum Selly menemui kakaknya, kami sempat berbicara sebentar.
“*.’’/?><9!@#... Kakakku itu! Sungguh terlalu. Aku kan sudah bilang ke ibu untuk menginap di rumahmu...”, umpat Selly.
“Sabar Sel, mungkin kakakmu khawatir sama kamu.”, jawab Lita kalem.
“Tapi kan gak bisa gitu! Gak sampai nyusul sini dong!”, kata Selly.
“Lha apa kamu pulang aja Sel…”, sahutku.
“Nggak mau! Aku kan udah izin sama ibuku!”, tolak Selly.
Akhirnya Selly keluar rumah untuk berbicara dengan kakaknya. Sebenarnya ibuku juga menyarankan agar Selly pulang saja, kasihan kakaknya. Tetapi setelah beberapa menit, kakak Selly pulang dengan tangan hampa. Sebenarnya aku merasa sangat prihatin dengan sikap Selly. Saat di rumah dia sudah dinasehati untuk tidak menginap, bahkan sampai disusul ke rumahku. Tetapi Selly tetap tak bergeming. Dia tetap nekat melangsungkan niatnya untuk bermalam di rumahku. Aneh, aku makin tak mengerti. Tak lama, Lita juga pulang karena sudah larut malam. Lita memberiku isyarat untuk hati-hati terhadap mereka. Tanpa diberitahu pun aku akan tetap waspada.
Waktu tidur menjelang. Ibuku menyarankan untuk menggunakan kamar kakakku agar lebih longgar. Mereka berdua tidur lebih dulu. Aku masih menonton televisi sampai malam sekali. Sambil menonton, aku berbicara dengan ibuku. Aku menceritakan detail musibah ayah Selly. Tak disangka, ibuku, meskipun secara tersirat, menyuruhku untuk berhati-hati kepada mereka. Ketika memasuki kamar, aku bingung. Karena kaki Irene melintang memenuhi tempat tidur. Aku tak ingin mengganggu tidur Irene. Akhirnya aku tidur di lantai. Tidur paling malam, bangun paling pagi di antara mereka. Tidurku kurang nyenyak semalam. Aku ingin sekali segera tiba di sekolah.
***
Setelah turun dari mobil, kami berjalan memasuki sekolah bersama-sama di hari pasca ”insiden” menginap itu. Aku menyebutnya ”insiden”, karena banyak sekali keganjilan yang aku temukan selama mereka di rumahku. Ketika istirahat, aku ke kelas Lita dan menceritakan kejadian lengkap mengenai kronologi ”insiden” kemarin kepada Lita. Anni, tetengga Selly, yang ikut menjadi pendengar, mengeluarkan komentarnya.
“Selly…Selly…Ayahnya sakit kok malah nginap di rumah orang. Apalagi Irene tuh! Gara-gara ibunya gak ada di rumah, dianya malah nginap di rumah Selly sampai seminggu ini lho!”, katanya.
Bagaikan disambar petir. Aku benar-benar kaget dibuatnya. Padahal kata guruku, tanda-tanda orang nakal yaitu salah satunya tidak betah tinggal di rumah sendiri dan sukanya menginap di rumah orang lain. Dari situ, aku dan Lita menyimpulkan bahwa kakak Selly khawatir dengan Selly karena hal itu. Yaitu bergaul dengan Irene.
***
Seiring dengan berjalannya waktu sikap Irene dengan Selly menjadi aneh. Bukan aneh seperti biasanya, kali ini keanehan mencapai status ”awas”. Saat di kelas, Selly menceritakan kejelekan Irene. Mulai dari Irene jadi tambah nakal, Irene berjilbab hanya untuk menutupi rambutnya yang dicat, dan masih banyak lagi. Dan sebaliknya, ketika Irene bersamaku, dia menceritakan betapa buruknya Selly. Bahkan dia mengatakan bahwa Selly adalah “cewek panggilan”. Astaghfirullah. Aku benar-benar tak percaya dengan kata-katanya. Persahabatan mereka nampaknya telah retak. Satu sama lain saling membuka aib.
Yang membuatku benar-benar kaget adalah, Irene mengaku bahwa Selly mengambil kameraku untuk dijual. Pencurian itu dilakukan, tak lain tak bukan, pada saat ”insiden” menginap itu. Namun kata Irene, Selly menitipkan kameraku ke Irene agar dijualkan olehnya. Dan katanya, sampai saat ini Irene tak tega menjualnya karena kasihan padaku, lagipula ada sebuah tanda di atasnya yang berarti kamera milikku merupakan hadiah dari sebuah perusahaan, sehingga tak bisa dijual seenaknya. Kalimat tambahan itulah yang membuatku tak tahu mengenai semua perkataannya tentang Selly benar atau tidak. Karena dia mengerti tentang detail kameraku yang hampir menjadi korban keegoisan mereka. Biasanya orang yang akan membeli suatu barang, pasti mengerti mana yang ”jelas” dan ”tidak jelas” asalnya. Dan bisa saja Irene mengatakan kalimat terakhir itu setelah menawarkan kepada beberapa orang, namun ditolak karena ada tanda tersebut. Astaghfirullah, pikiranku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Krisis kepercayaan kepada mereka telah melandaku saat ini.
Sesampaiku di rumah, aku masuk kamarku dan membuka laci lemari atas yang dulu merupakan tempat pembalut dan juga merupakan tempat kameraku berada. Aku ingin mencari tahu kebenaran mengenai nasib kameraku, benarkah sudah hilang atau masih ada di dalam kardus penyimpanan. Dan hasilnya adalah: nihil! Kamera itu benar-benar telah menghilang dari kardusnya. Untung saja ibuku tidak mengetahuinya. Dan beruntung juga, Irene tadi telah berjanji akan mengembalikannya besok. Tetapi tiba-tiba saudara sepupuku telepon, dia ingin meminjam kameraku untuk dibawanya saat Study Tour. Otomatis aku bingung. Alhamdulillah, besoknya kameraku bebar-benar dikembalikan. Irene menepati janjinya! Dan malamnya, saudara sepupuku itu datang untuk meminjamnya. Aku lega karena nyawaku terselamatkan.
***
Sebelumnya, kupikir persahabatan Selly dan Irene sudah retak. Namun, aku masih bingung, karena jika mereka sedang bersama, mereka tetap kompak. Terbukti saat aku dan Lita berjalan bersama mereka. Mereka melakukan lagi hal yang paling kami benci: bisik-bisik di belakang kami!
Hal yang tak kuduga terjadi lagi. Suatu sore mereka datang ke rumahku. Tujuannya adalah: meminjam uang Rp 50.000,00! Dan anehnya, mereka memberi alasan menggunakan uang itu untuk membantu teman mereka yang kena tilang tetapi tidak membawa uang. Aku tidak meminjaminya karena aku sudah tak percaya sepenuhnya terhadap mereka. Mereka terlalu sering berbohong padaku. Ibuku sampai sebal ketika aku menyebutkan nama Irene. Karena ibuku tahu, bahwa dulu baju olahragaku pernah tertukar dengan miliknya, dan dia juga meminjam sepatu wariorku sejak awal semester 2, tetapi sampai sekarang belum dikembalikan.
Bisakah aku mengatakan bahwa mereka adalah traitor (pengkhianat)? Bahkan aku tak yakin dengan pikiranku sendiri, terlalu banyak suudzon di otakku. Tak ada kebenaran, fakta, dan data pasti untuk mengungkap semua ini, yang ada hanya feeling. Tetapi, aku heran terhadap diriku. Apakah aku terlalu baik, sehingga dengan mudah aku bisa dimanfaatkan oleh mereka?
***
Konflik batinku hilang sesaat karena tegangnya ujian. Alhamdulillah, SMP ku lulus 100%. Dan aku juga bersyukur mendapat nilai terbaik sepanjang SMP saat ditotal Ujian Nasional dengan Ujian Sekolah. Aku mendapat ranking 4 paralel! Dan masih menduduki ranking 1 di kelas. Alhamdulillah. Kesibukanku menjadi panitia perpisahan telah menghilangkan negative thinking ku terhadap Irene dan Selly sesaat. Bahkan hingga aku memasuki jenjang SMA, aku mulai merasa tenang dengan berusaha melupakan masa lalu yang, menurutku, suram.
***
Pengambilan STTB adalah saat yang bahagia, karena aku bisa bertemu dengan teman-temanku di SMP. Seharusnya, pertemuanku dengan Selly yang nota bene “lebih dari teman biasa” (sahabat-red), menjadi pertemuan yang hangat. Namun, kenyataan yang terjadi justru tidak sama sekali. Semua teman saat melihatku selalu menyapa, tetapi Selly, dingin, bahkan sama sekali tak peduli denganku. Sebal sekali rasanya. Saat aku pulang, aku bertemu Irene yang ditemani ibunya. Aku jadi kasihan pada ibunya, mengingat bahwa Irene sering sekali berbohong pada ibunya. Sangat keterlaluan!
***
 Hatiku kembali menjadi tak karuan ketika teringat masalah yang masih menjadi misteri sampai sekarang. Keaslian hati dalam persahabatanku dengan Selly, dan Irene. Sampai-sampai aku tak bisa membedakan yang mana teman, yang mana pengkhianat. Namun, daripada memikirkan hal yang tak pasti, lebih baik mencari good things yang pastinya lebih banyak jumlahnya. Telah kutetapkan langkah, songsong masa depan, hadapi hari esok dengan harapan lebih baik dari yang kemarin, bersama teman-teman sejatiku dan SMA yang telah kupilih. Semoga imanku semakin kuat, dan semakin teguh di jalanNya, serta melupakan segala masalah yang tak terselesaikan, karena segala masalah itu hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu akhirnya.


Minggu, 15 Mei 2011

kisah dari teman

aku gak nyangka.... mbak nur...kakak tingkatku, sekaligus temen n kakakku di program yg sama, nulis cerita yang bener2 keren,, apik lahh, pokonya mantap! ini ceritanya...

Kisah yang Indah
            Ini adalah sebuah kisah indah yang ingin aku bagi dengan kalian, kisah tentang sesuatu hal yang lucu namun ada banyak makna dan pelajaran yang dapat diambil darinya. Ini adalah kisah tentang aku dan semua yang terlibat dalam MLC (maaf ya yang nggak kesebut, kalau dalam film2 kalian adalah cameonya, sementara kita adalah para pemeran pertama,aaaaa…..* narsis.com*)
            Nggak tau takdir apa yang membuat aku jadi ketua pelaksana (kata Rosyi kalau disingkat jadi “ketuplak”) MLC, tapi jelas aku yakin itu adalah bagian dari takdir tuhan yang indah. Sempet minder juga sih jadi ketuplak, ngerasa nggak yakin juga sih, takut nggak bisa jadi ketuplak yang baik dan benar, takut hulahuli.com,  dan ngecewain kadiv PA dan juga anak-anak LSP yang lain hiks hiks T.T (curcol.co.id)
  1. Kisah 19 Maret 2011
            Hari itu adalah grand openingnya MLC yang bertajuk MLC Countdown, as usual, kadang dalam suatu kepanitian hanya ada beberapa orang yang aktif, begitupun di MLC (ups teman2 aku nggak bermaksud menyindir, hehehe….). Sampai tanggal jum’at tanggal 18 Maret kami belum mendapatkan tempat yang fix, fortunately d’v.i.v.y punya ide buat pake aula gedung E. akhirnya aku, dia, n pakDe (pak Dewanto Kamas Utomo) pergi menemui pak Rohmadi untuk minta bantuan pinjam ruangan dan akhirnya kita dapat ruang 3 lantai 3. Tapi cerita belum berhenti sampai disini, karena MLC minim orang kami harus melakukan semuanya sendiri, yang paling amazing adalah ketika aku n d’ Vi ngangkat sound system dari gedung BEM ke lantai 3 gedung E. ya ampun, bayangpun deh, kita dah kayak kuli gitu, mungkin karena kasiha atau salah satu dari kami manis, ada ada seorang cowok yang lagi main main basket ngebantu ngebawain sound sampai lantai 1. Dan masih masih  belum berhenti disitu, setelah itu kami masih masang MMT sendiri, bayangpun kita pake rok naek2 keatas kursi, but it doesn’t matter b’cause finally the show going on well. Akhirnya acaranyapun tiba karena terlalu sibuk aku nggak sempat ngapalin pidato bahasa inggrisku, jadi deh pidatonya berantakan, ah… untungnya belum banyak peserta yang datang dan ada beberapa pembicara yang belum dating (hah…selamat selamat selamat).Rasanya nggak aku banget deh kalau nggak menggila, and the right time for menggila adalah saat Quiz, bahkan aku sampe nangis karena nggak kuat ketawa waktu peserta nyanyiin lagunya Didi Kempot.
Theme song buat MLC Countdown: when you believe, “there can be miracles when we believe”
19 Maret 2011,  special thanks to: d’ Eka, mas Kris, mb Wij, Annisa, and anak2 LSP lain yang udah ngebantu, maaf nggak bisa nyebutin satu persatu. Thanks guys, may Alloh bless U all.amin.
  1. Kisah 29 Maret 2011( kisah yang paling tragis)
     Ini adalah pertemuan ke empat MLC weekly meeting, dan kali ini adalah special day “Korean Episode”. Maaf aku nggak bisa cerita banyak tentang hari ini, aku nggak kuat cerita tapi aku mau ngucapin maaf banget buat semuanya. Maaf buat buat MLC members, aku tau kalian kecewa dengan acara ini, maaf juga buat MLC crew yang lain.
Special thanks: @ Rosyi: thanks udah berusaha ngibur aku n maaf aku nggak bisa berhenti nangis, mungkin benar bakatku adalah nangis T.T (hiks hiks hiks…), makasih juga sms motivasinya.
@  Dewanto, Uni, Vivy: Makasih nggak nyalahin aku. D’Vi makasih juga sms motivasinya.
Theme song: Insomia “yang kau lihat senyumku tak kau sadari sedihku, sakit hatiku kau tak perlu tau, hanya aku yang harus tau”
Ah udah ah sedih2nya, jadi pengen nangis lagi…  mending kita ke tanggal 6 Mei yang sangaaaaaaaat indah.
  1. Kisah 6 Mei 2011
      Ini adalah kisah yang paling aku suka, Tuhan itu adil nggak selamanya aku nangis ada saatnya aku tersenyum bahkan tertawa. kegiatan kuliah lancar semua habis itu MLC English meeting, agendanya adalah grammar, listening, and vocabulary, tapi sayang grammarnya nggak sempat diajarkan karena peserta antusias banget ma listening n lihat videonya. Yang paling menngembirakan adalah saat mereka ngasih komentar kalau acaranya seru banget apalagi pas ngisi lirik lagu, langsung get well soon aku, ngerasa kalau ternyata aku juga bisa ide yang lumayan kreatif. Diakhir acara banyak peserta yang minta lagu2 bahasa inggris ke aku, rasanya semakin yakin bahwa ini adalah sisipan kebahagian yang masih tersembunyi minggu lalu.
Special thanks: to all MLC members, ultra rangers, n pakDe, thanks ya nggak muntah2 waktu aku nyanyi my love ataupun take me to your heart J
Theme song: my love n t
  1.  A Moment to Remember
     Ini juga masih kisah pada hari Jum’at 6 Mei 2001. Setelah kuliah yang menyenangkan dan MLC yang juga tidak kalah menyenangkan masih ada LSP Day. Seperti biasa sih, aku selalu menggila di acara LSP apalagi kalau ada Ultra Rangers wah malah parah deh gilanya. Di LSP day MLC crew udah mempunyai iklan masing, cerita nggak ya malu nie?&$#
Cerita deh,tapi jangan lempar sepatu anda pada saya, kalau anda merasa iklan ini tidak sesuai dengan kami.
@aku: iklanku adalah….teng teng teng….WRP Diet to Go. Kok bisa? Sabar cuy, kan terserah aku mau pake iklan apa, lagian tadi nulisnya belum selesai yang bener tu gini “WRP Diet to Go coming soon” kan masih coming soon so ditunggu aja ya kapan nongolnya, dan buat yang bersedia nunggu saya kasih hadiah ehm ehm…”ucapan terima kasih dan senyuman” ye…
@Rosyi: Katanya Uni iklan yang cocok buat Rosyi L-Men “trust me it works” tapi Vivy nggak setuju katanya dia itu iklannya dia, jadi setelah memikirkan, mendiskusukan, menghitung, mensurvey, dan menimbang akhirnya kami memutuskan bahwa iklanny Rosyi adalah Hi-Lo *Rosyi kamu masih punya kesempatan untuk mengubah iklan, kalau pengen ganti*
@Vivy, iklan yang cocok buat Vivy adalah L-Men “trust me it works” titik.
@Uni, kata Vivy iklannya Uni adalah apeton  weight gain.
 @Dewanto, iklan buat pakDe belum diputuskan secara resmi, kalau aku usul permen mintz, why? Soalny iklannya nggak lucu tapi berusaha ngelucu gitu, eh malah jadinya wagu. Kayak pakDe gitu kadang berusaha ngelucu tapi jadinya malah krik krik (jangkrik berderik). Hehe maaf ya pakDe…peace J

     Suatu saat nanti aku pasti akan merindukan moment-moment bersama kalian. Ketika aku nanti  makannya di restoran yang harga saladnya saja 90 ribu, aku akan merindukan saat-saat makan snack sisa acara sama kalian. Ketika aku sudah punya album yang diproduseri mas yovie n sudah duet sama Maher Zain aku pasti ingat lagu my love, ketika aku nanti kemana-mana sudah naik mobil mewah dengan sopirnya yang juga mewah aku pasti akan meridukan saat kita jalan kehujanan dari Gor ke sekre.

     I just wanna say thanks all for your care, love, and all the things given to me. Maaf ya aku sering ngecewain kalian, sering buat marah, bahkan malu *-*.Tapi apapun itu aku bersyukur banget, Tuhan telah menempatkan aku diantara kalian, dari kalian aku belajar untuk tidak mudah menyerah dan berusaha melakukan hal terbaik yang bisa kulakukan.

For the rest of my life, you’re one of the biggest miracles in my life.  Hopefully, now and forever we are friends and we will always love each others.

ya, inilah nasibku...

kian lama kujalani aktivitas di kampus ini. sebenarnya, belum lama sih, belum genap satu tahun kok. ya kuliah, ya rapat, ya acara, ya pastinya juga pulang. tak pernah kurasakan bahwa aku selalu diawasi oleh banyak mata.

berawal dari maraknya berita anak hilang di wilayah kampus. entah di luar Jawa, di Jawa pun, di Malang, di Yogyakarta, dan bahkan telah merambah di kotaku, di kampusku tepatnya, lebih mengejutkan lagi, di fakultasku! tingkat kewaspadaan setiap mahasiswa, teman-temanku pula, menjadi tinggi. organisasi itu kian gencar mencari nasabah. tetapi aku tidak memperlihatkan kecemasanku secara 'lebay' di hadapan keluargaku. karena aku suka yang santai-santai, gak suka bikin 'terlalu' khawatir, tapi emang suka bikin 'sedikit' khawatir sih...

hingga akhirnya, pada suatu hari yang cukup mendung, kudapati sebuah pesan masuk di handphone ku di saat aku masih ada 'kuliah', yang sebenarnya nggak terlalu 'kuliah'. kubaca saja, ternyata dari kakakku, bertanya 'baru ngapain?'. kujawab saja 'kuliah'. terus ditanya kapan pulangnya, mau ada acara apa, bla bla bla. aku pun akhirnya mulai curiga. 'habis kuliah langsung pulang!', itu sms yang membuatku bingung,takut, sedih, entah rasa apalagi sepertinya benar-benar sangat tidak enak (kalo nano-nano mah enak...). tiba-tiba ada pesan masuk lagi, dari bapakku. disuruh segera pulang setelah kuliah. aku makin bingung apa maksud dari pesan-pesan yang telah kuterima ini. mulailah aku berpikiran macam-macam. dan, kebiasaanku kambuh, menangis. cengeng, itulah aku. tapi aku benar-benar tak bisa berpikir jernih lagi. kubatalkan janjiku bertemu seseorang yang sudah lama tak kujumpai.

sebenarnya suasana cukup menegangkan pada saat itu. aku ijin ke dosen yang mengampu mata kuliah itu. aku berlari sekencang-kencangnya, menuju ke parkiran, akhirnya sampai ke rumah saudaraku. kuhapus air mataku (hikz2) sebelum mengucap salam. Alhamdulillah, aku bisa tenang, dan lebih tenang lagi karena tak terjadi apapun seperti pikiran-pikiran burukku. keluargaku hanya mengkhawatirkan kesibukanku yang hampir tiap hari pulang maghrib. mengkhawatirkanku akan segala organisasi yang kuikuti. akhirnya, aku dilarang mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi langganan dalam agendaku. cukup di sini aku tenang. masih ada rasa was-was dalam perjalananku menuju rumahku. Alhamdulillah, normal-normal saja kenyataanya. malah aku langsung makan nasi kuning yang sudah tersedia di meja makan... hehehehe. ibuku mulai menasehati lagi, kurangi kegiatan. ibuku bahkan memberi tahu bahwa saudara-saudaraku yang bertempat tinggal di dekat kampus selalu melihat gerak-gerikku. pulangku, hari liburku, selalu penuh kegiatan. jadilah, sekarang aku sudah ditegasi untuk menahan dulu, hingga kondisi kembali normal. berbagai alasan kuungkapkan, berbagai 'rayuan maut' kulontarkan, namun, mungkin hanya beberapa saja yang diijinkan. entah sampai kapan, tapi aku memang anak rumah, batasan pastilah lebih ketat. ini itu lebih banyak diatur, lebih banyak peraturan.

so, bagi teman-teman yang merasa aneh tentang diriku saat ini, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena memang ini, ya, inilah nasibku.  terima kasih sudah maklum... ^^

di ujung masjid tercinta, dengan segenap ketidaksempurnaanku.