Aku berdiri di atas panggung sambil membawa piala. Kulihat wajah
bangga dari kedua orang tua dan teman-temanku di bangku penonton. Aku
masih belum mengerti, kompetisi apa yang telah kumenangkan. Kuputuskan
untuk membalik piala yang kupegang. Kubaca tulisan di piala itu. Juara 1
Lomba Menulis……. Belum selesai kubaca tulisan itu mendadak semua
menjadi kabur. Lalu entah bagaimana caranya aku berada di sebuah pantai
yang sangat indah. Kutarik nafas dalam-dalam sambil menyusuri pasir
putih yang begitu mengesankan. Mataku tertuju ke sebuah tempat yang
nampaknya nyaman untuk merebahkan diri. Tak sampai satu menit angin
pantai yang semilir membuatku memejamkan mata.
Suara alarm membuatku bangun dari tidur pulasku. Kuraih handphoneku
lalu kumatikan alarm yang terus berdering. Kutatap sekitarku,
poster-poster kartun di dinding, lemari baju di sudut ruangan, kipas
angin di atas meja, dan bed cover biru langit sebagai alas tidurku. Tak
ada hamparan pasir putih yang kuharapkan. Ternyata yang tadi hanyalah
mimpi. Mimpi yang aneh, tak jelas, tapi menyenangkan. Kulupakan mimpiku,
lalu aku bersiap untuk berangkat ke tempat les, tempat dimana aku
menghabiskan waktu liburanku yang begitu lama dan menjemukan. Empat
bulan terasa sangat membosankan walau tiap harinya aku jarang di rumah.
Sesudah melewati keramaian kota, akhirnya sekitar 20 menit aku sampai
di tempat les dengan mata sayu karena mengantuk. Karena semua teman
sudah berkumpul, pertemuan segera dimulai. Topik yang dibahas kali ini
bebas, namun tiba-tiba tertuju pada satu inti, yaitu “CERITA”.
Teman-temanku mulai berbicara tentang karya-karya yang telah mereka
buat. Sungguh, hal ini membuatku sangat iri pada mereka. Mengapa mereka
bisa? Apa saja yang aku lakukan selama ini? Mengapa aku tak bisa?
Bagaimana caranya? Beribu pertanyaan mencerca ketidakmampuanku selama
ini. Hanya aku yang tak bisa menjawab jika ditanya tentang hasil
tulisanku. Mungkin aku memang bisa menjawab, dengan senyum. Ya, hanya
itu. Hingga saatnya pulang, aku masih memikirkannya.
Selama perjalanan menuju rumah, ingatanku tentang “CERITA” mulai
berputar di otakku. Banyak sekali temanku yang sudah menghasilkan karya.
Bahkan hampir semua temanku telah membuat puisi, cerita, artikel,
kerajinan tangan, dan jumlahnya tak cukup satu. Aaaarrrrgggghhhh…. Aku
harus bisa seperti mereka! Aku harus kreatif! Bagaimana bisa seorang
yang terdaftar di jurusan bahasa tidak mengerti cara menuliskan sesuatu?
Tak pantaskah aku masuk jurusan yang telah kupilih? Tapi, bagaimana
cara mendapatkan ide? Pertanyaan di kepalaku makin tak terhitung
jumlahnya hingga membuat pandanganku ke arah jalan menjadi sedikit
kacau. Untung saja tidak sampai menabrak kendaraan lain. Akhirnya
kuputuskan untuk memikirkannya di rumah.
Di rumah, aku hanya bisa mondar-mandir di ruang keluarga, lalu pindah
ke kamar. Aku masih mencari ide, namun tetap tak kutemukan. Payah,
olokanku pada diriku sendiri. Kepalaku menjadi pening setelah sekian
lama berpikir. Belum ada titik temu. Aku hanya bisa menulis kata “I have
no idea” di otakku. Dengan segenap ketidakmampuan kuputuskan untuk
mencari ide di lain waktu, barangkali tiba-tiba ada sekilas yang
terbesit. Kuberjalan ke kamarku sambil merenungi kepayahanku. Aku
bertekad untuk membudayakan menulis sejak saat ini. Berangkat dari tekad
ini, aku harus berusaha lebih keras dari yang sebelumnya. Makin lama
berandai-andai, makin lama pula penciptaan karya. Segera bergerak, maka
akan kudapati jalan. Sambil mengepalkan tanganku yang gempal, aku
meneriakkan tekadku di dalam hati.
Keesokan harinya, aku masih dengan segenap kobaran semangatku mulai
berpikir, apa yang harus kubuat untuk membuktikan eksistensiku kepada
semua orang. Karena menulis adalah membuat keabadian. Tulisan seseorang
yang telah lama meninggal pun pasti akan terus dikenang, dan yang paling
penting adalah manfaat yang bisa diambil dari tulisan tersebut. Makin
lama kuberpikir, makin keras perutku berbunyi. Perutku keroncongan. Ya,
benar saja, aku belum sarapan. Satu, dua, tiga, empat. Dalam hitungan
empat menit aku telah menyelesaikan sarapanku. Perut terisi, seharusnya
otak mengikuti. Kuputuskan untuk masuk kamar dan berguling-guling
mencari inspirasi. Mungkin orang yang melihatku akan tertawa, tetapi ini
adalah salah satu cara ampuhku untuk mencari ide tanpa disertai rasa
kantuk.
Tiba-tiba ibuku lewat dan melihat tingkah anehku. Beliau hanya
tersenyum dan melanjutkan kegiatan rutin di dapur. Setelah melihat ibuku
tersenyum dan masuk dapur, aku justru berlari kecil mengikuti ibuku ke
dapur yang hanya muat untuk dua orang saja. Ya, aku lebih tertarik untuk
memasak, barangkali saat memasak akan muncul ide-ide yang brilian. Dua
tiga. Tiga jam kulalui dengan hanya memotong wortel, buncis, dan
sebagainya. Kemana perginya ide? Dari mata turun ke hati kah? Ups, itu
kan salah satu jenis ide. Tapi sudah banyak yang membuat tentang hal
itu. Ahhh, cukup dulu untuk hari ini. Sepertinya aku sudah mulai
bertambah aneh.
Hari berikutnya, aku bertekad untuk membuat outline. Meskipun yang
ada di kepalaku lagi-lagi hanyalah “I have no idea”. Aku mengambil
secarik kertas dan mulai menulis. Tiga kata yang paling penting segera
hadir di pikiranku. Pembukaan, isi, penutup. Pidato banget, batinku pada
diri sendiri. Yang penting sudah membuat kerangka, sudah lumayan. Dan
akhirnya, hari ini aku hanya mendapatkan tiga kata untuk awal perjalanan
kisahku. Entah kapan lagi akan kudapatkan lagi inspirasi itu.
Inspiration, where are you?
Keesokan harinya, aku yang telah mendaftarkan diri ke sebuah seminar
kepenulisan segera bergegas merapikan penampilanku. Bismillah, berangkat
ke seminar itu, aku bertekad untuk menggenggam sebuah pelajaran yang
wajib aku terapkan sepulang dari sana. Tak bertemu siapa-siapa. Memang,
ini tujuanku, aku hanya ingin menampar diriku sendiri tanpa bantuan
teman di sampingku. Malu yang kumiliki tak ingin kuberitahukan kepada
temanku. Aku sudah membulatkan tekad, maka aku harus memaksimalkan
potensi.
Sepulang dari seminar, aku terngiang kembali perkataan pembicara.
“Jadikanlah sekitarmu inspirasi. Apapun yang kau temukan di lingkungan
sekitarmu adalah inspirasi. Semua hal yang ada di sekitarmu bisa menjadi
cerita, meskipun banyak kategori cerita yang mungkin akan terbentuk.
Fiksi bisa, non fiksi atau ilmiah pun bisa. Tinggal pasang mindset yang
sesuai dengan diri kalian masing-masing. Selamat Berkarya!”. Benar-benar
menginspirasi.
Akhirnya, ideku bisa muncul. Apa ya? Hehe. Ya, sekarang ideku bak
ombak yang selalu mendekati pantai. Meskipun habis di pantai, namun
masih ada ombak yang datang lagi untuk menyusul rekan ombak yang telah
berakhir tadi. Artinya, ide memang selalu datang, namun di waktu yang
lain ide dengan kemasan berbeda juga datang menyusul di ide-ide
sebelumnya. Dan demikianlah akhir dari cerita sebuah kekosongan ide yang
sebenarnya merupakan awal dari segala karya yang nantinya akan kubuat,
insya Allah.