Jumat, 20 Mei 2011

BETWEEN FRIEND AND TRAITOR


            Aku sudah siap berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Bahkan di luar masih berkabut tebal. Penampilanku berbeda dari 2 tahun sebelumnya. Karena di kelas 9 SMP ini aku memakai jilbab. Dengan bangga kuberdiri di depan cermin. Mematut-matut diri, membenarkan posisi jilbab, tentu saja sambil tersenyum. Saat diriku merasa benar-benar siap untuk mengawali tahun ketigaku di SMP, kupanggil kakakku yang masih bersantai-santai di dalam kamarnya agar bersiap untuk mengantarku.
            Agak canggung kumasuki sekolahku tercinta. Aku jadi teringat kata-kata temanku, bahwa aku akan masuk kelas 9A. Padahal seharusnya aku masuk di kelas 9G, jika dilihat dari kelas asalku. Dan ternyata, kekhawatiranku terbukti. Aku menemukan nama VIRA YUNITASARI nomor absen 26 di daftar nama siswa kelas 9A. Yang berarti aku harus beradaptasi dengan lingkungan kelas yang baru. Untung saja ada Selly yang menawarkan diri untuk menjadi teman sebangkuku. Tetapi, saat itu teman Selly mengatakan hal yang menurutku sangat aneh. “Wah, Vir, kamu harus hati-hati lho! Sebelahmu setan kamunya malaikat! Jangan sampai terpengaruh!”. Aku yang tak mengerti maksud kata itu hanya tersenyum, dan aku siap menjalani tahun ketigaku di SMP tercinta ini dengan semangat baru.
***
            Aku dan Selly memiliki teman yang bernama Irene. Irene berjilbab saat kelas 9 juga, sama denganku. Bedanya, aku berjilbab karena kemantapan hatiku, sedangkan Irene disuruh ibunya. Yang membuatku jengkel, bukan sifatnya semakin baik, tetapi justru menjadi lebih buruk. Dia dan Selly sangat kompak. Mulai dari “caper” terhadap laki-laki, terhadap guru, mencontek saat ulangan, pinjam uang seenaknya, bahkan bisik-bisik membicarakan orang lain tepat di sebelah orang yang dibicarakan tersebut. Bagaimana tidak sebal? Aku dan Lita, teman dekatku, sangat risih saat berjalan bersama mereka. Aku pun mulai berpikiran macam-macam terhadap mereka. Saat suudzon itu muncul, aku segera ber-Istighfar. Menghilangkan suudzon terhadap mereka sangat sulit, karena tingkah mereka semakin menjadi-jadi. Dan orang lain mengatakan bahwa aku dijadikan teman oleh mereka hanya untuk dimanfaatkan.
***
            Suatu hari, Selly bercerita bahwa ayahnya masuk rumah sakit karena jatuh dari atap rumah saat memperbaiki antena. Anehnya, tak ada ekspresi sedih di raut mukanya. Ah, biarlah. Toh, sikapnya memang seperti itu. Tetapi, siangnya Irene dan Selly datang ke rumahku.
            “Vir, kita boleh nginap di rumahmu hari ini apa gak?”, tanya Selly.
            “Loh, memangnya kalian sudah izin sama ortu kalian?”, aku balik bertanya.
            “Kami sudah ngomong kok! Gimana, boleh apa gak?”, kata Irene.
            “Sebentar ya, aku tanya ibuku dulu”, jawabku.
            Aku langsung berlari ke arah ibuku dan menanyakannya. Kata ibuku boleh, asal sudah izin. Mereka kugiring ke dalam kamarku. Tak lama kemudian, Selly menelepon ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Aku heran, padahal tadi dia mengatakan sudah izin, ternyata masih akan menelepon ibunya. Sekilas kudengar perbincangannya di telepon dengan ibunya yang menurutku sedikit agak
“kasar”. Sungguh, dari pembicaraan ibu dan anak tadi adalah hal yang sangat mencurigakan. Sepertinya Selly sangat memaksa ibunya untuk mengizinkannya menginap di rumahku. Mereka layaknya telah mempersiapkan sebuah rencana jauh-jauh hari untuk melakukan suatu misi. Disinilah aku mulai menemukan keganjilan yang kupikir hanya sekali. Tetapi aku tak tahu bahwa masih banyak keganjilan-keganjilan yang menyusul nantinya.
Setelah meminta izin kepada ibunya, dia menutup telepon. Saat adzan Ashar berkumandang, aku mempersilakan mereka sholat. Mereka mengatakan bahwa mereka sedang berhalangan, lalu mereka meminta pembalut. Aku memberi tahu letak pembalut ada di laci lemari bagian atas. Setelah itu aku meninggalkan mereka untuk mandi dan sholat. Saat mereka mandi, aku melakukan pemeriksaan kamar. Apakah ada barang yang hilang atau tidak. Karena aku benar-benar sudah mencium hawa ketidakberesan dalam diri mereka. Aku menemukan keganjilan kedua, barang yang seharusnya berkurang justru tetap utuh, yaitu pembalut. Mereka berbohong tak hanya denganku, tetapi juga dengan Allah. Karena mereka berani tidak melaksanakan sholat. Padahal berjilbab, tetapi tak bisa menjaga sikap.
Saat mereka masuk kamarku, aku langsung menutup laci lemari atas itu dan berpura-pura tidak melakukan apapun. Usai kegiatan “bersih sore”, kami bertiga berjalan menuju counter untuk membeli pulsa. Lama kami menunggu penjual pulsa keluar rumah, tetapi tak kunjung datang, dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku mengirim SMS ke Lita.
            Aslkm. Ta, km bsa datg ke rmh ku bakda Maghrib apa gak? Selly ma Irene nginep d rmh ku ni, gmn?bls.
            Lalu, langsung ada jawaban.
            Ya, Insya Allah bakda Maghrib aku k rmh mu
Lega rasanya, karena sesampainya di rumah, Lita datang. Lalu kami semua berangkat ke rumah Selly naik mobil ayahku untuk mengambil barang yang ketinggalan. Sebenarnya, permintaan Selly kepadaku agar bapakku mau mengantar kami ke rumanya benar-benar menjadi tanda tanya. Mengapa mereka menginap tanpa persiapan yang matang? Apa mereka hanya main-main? Tetapi bapakku menyetujui saja dan mengantar kami dengan mengendarai mobil. Yang aneh lagi, di rumah Selly masih ada kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Sekilas kudengar dari mobil bahwa Selly diminta tidak usah menginap ke rumahku, takut merepotkan. Namun, sesaat kemudian Selly dan Irene datang ke gerbang dengan menjinjing satu plastik kresek besar baju ganti mereka. Lalu segera naik ke mobil, yang artinya mereka jadi melanjutkan niat mereka untuk menginap di rumahku. Sepulang dari rumah Selly, kami berhenti ke counter untuk membeli pulsa. Tiba-tiba Selly memberiku isyarat untuk pura-pura membeli pulsa untuk dirinya. Pertama aku tak mengerti, tetapi aku menurut saja. Saat di mobil, Selly menjelaskannya padaku. Aku sedikit mengerti. Ternyata dia tidak ingin pulsanya dihabiskan oleh Irene. Dan benar saja, setibanya di rumah, Irene meminjam handphone-ku. Saat dikembalikan, pulsaku berkurang banyak. Aku berusaha cuek.
Ketika kami sedang ngobrol di kamarku, tiba-tiba seseorang datang ke rumahku. Ternyata kakak Selly. Sebelum Selly menemui kakaknya, kami sempat berbicara sebentar.
“*.’’/?><9!@#... Kakakku itu! Sungguh terlalu. Aku kan sudah bilang ke ibu untuk menginap di rumahmu...”, umpat Selly.
“Sabar Sel, mungkin kakakmu khawatir sama kamu.”, jawab Lita kalem.
“Tapi kan gak bisa gitu! Gak sampai nyusul sini dong!”, kata Selly.
“Lha apa kamu pulang aja Sel…”, sahutku.
“Nggak mau! Aku kan udah izin sama ibuku!”, tolak Selly.
Akhirnya Selly keluar rumah untuk berbicara dengan kakaknya. Sebenarnya ibuku juga menyarankan agar Selly pulang saja, kasihan kakaknya. Tetapi setelah beberapa menit, kakak Selly pulang dengan tangan hampa. Sebenarnya aku merasa sangat prihatin dengan sikap Selly. Saat di rumah dia sudah dinasehati untuk tidak menginap, bahkan sampai disusul ke rumahku. Tetapi Selly tetap tak bergeming. Dia tetap nekat melangsungkan niatnya untuk bermalam di rumahku. Aneh, aku makin tak mengerti. Tak lama, Lita juga pulang karena sudah larut malam. Lita memberiku isyarat untuk hati-hati terhadap mereka. Tanpa diberitahu pun aku akan tetap waspada.
Waktu tidur menjelang. Ibuku menyarankan untuk menggunakan kamar kakakku agar lebih longgar. Mereka berdua tidur lebih dulu. Aku masih menonton televisi sampai malam sekali. Sambil menonton, aku berbicara dengan ibuku. Aku menceritakan detail musibah ayah Selly. Tak disangka, ibuku, meskipun secara tersirat, menyuruhku untuk berhati-hati kepada mereka. Ketika memasuki kamar, aku bingung. Karena kaki Irene melintang memenuhi tempat tidur. Aku tak ingin mengganggu tidur Irene. Akhirnya aku tidur di lantai. Tidur paling malam, bangun paling pagi di antara mereka. Tidurku kurang nyenyak semalam. Aku ingin sekali segera tiba di sekolah.
***
Setelah turun dari mobil, kami berjalan memasuki sekolah bersama-sama di hari pasca ”insiden” menginap itu. Aku menyebutnya ”insiden”, karena banyak sekali keganjilan yang aku temukan selama mereka di rumahku. Ketika istirahat, aku ke kelas Lita dan menceritakan kejadian lengkap mengenai kronologi ”insiden” kemarin kepada Lita. Anni, tetengga Selly, yang ikut menjadi pendengar, mengeluarkan komentarnya.
“Selly…Selly…Ayahnya sakit kok malah nginap di rumah orang. Apalagi Irene tuh! Gara-gara ibunya gak ada di rumah, dianya malah nginap di rumah Selly sampai seminggu ini lho!”, katanya.
Bagaikan disambar petir. Aku benar-benar kaget dibuatnya. Padahal kata guruku, tanda-tanda orang nakal yaitu salah satunya tidak betah tinggal di rumah sendiri dan sukanya menginap di rumah orang lain. Dari situ, aku dan Lita menyimpulkan bahwa kakak Selly khawatir dengan Selly karena hal itu. Yaitu bergaul dengan Irene.
***
Seiring dengan berjalannya waktu sikap Irene dengan Selly menjadi aneh. Bukan aneh seperti biasanya, kali ini keanehan mencapai status ”awas”. Saat di kelas, Selly menceritakan kejelekan Irene. Mulai dari Irene jadi tambah nakal, Irene berjilbab hanya untuk menutupi rambutnya yang dicat, dan masih banyak lagi. Dan sebaliknya, ketika Irene bersamaku, dia menceritakan betapa buruknya Selly. Bahkan dia mengatakan bahwa Selly adalah “cewek panggilan”. Astaghfirullah. Aku benar-benar tak percaya dengan kata-katanya. Persahabatan mereka nampaknya telah retak. Satu sama lain saling membuka aib.
Yang membuatku benar-benar kaget adalah, Irene mengaku bahwa Selly mengambil kameraku untuk dijual. Pencurian itu dilakukan, tak lain tak bukan, pada saat ”insiden” menginap itu. Namun kata Irene, Selly menitipkan kameraku ke Irene agar dijualkan olehnya. Dan katanya, sampai saat ini Irene tak tega menjualnya karena kasihan padaku, lagipula ada sebuah tanda di atasnya yang berarti kamera milikku merupakan hadiah dari sebuah perusahaan, sehingga tak bisa dijual seenaknya. Kalimat tambahan itulah yang membuatku tak tahu mengenai semua perkataannya tentang Selly benar atau tidak. Karena dia mengerti tentang detail kameraku yang hampir menjadi korban keegoisan mereka. Biasanya orang yang akan membeli suatu barang, pasti mengerti mana yang ”jelas” dan ”tidak jelas” asalnya. Dan bisa saja Irene mengatakan kalimat terakhir itu setelah menawarkan kepada beberapa orang, namun ditolak karena ada tanda tersebut. Astaghfirullah, pikiranku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Krisis kepercayaan kepada mereka telah melandaku saat ini.
Sesampaiku di rumah, aku masuk kamarku dan membuka laci lemari atas yang dulu merupakan tempat pembalut dan juga merupakan tempat kameraku berada. Aku ingin mencari tahu kebenaran mengenai nasib kameraku, benarkah sudah hilang atau masih ada di dalam kardus penyimpanan. Dan hasilnya adalah: nihil! Kamera itu benar-benar telah menghilang dari kardusnya. Untung saja ibuku tidak mengetahuinya. Dan beruntung juga, Irene tadi telah berjanji akan mengembalikannya besok. Tetapi tiba-tiba saudara sepupuku telepon, dia ingin meminjam kameraku untuk dibawanya saat Study Tour. Otomatis aku bingung. Alhamdulillah, besoknya kameraku bebar-benar dikembalikan. Irene menepati janjinya! Dan malamnya, saudara sepupuku itu datang untuk meminjamnya. Aku lega karena nyawaku terselamatkan.
***
Sebelumnya, kupikir persahabatan Selly dan Irene sudah retak. Namun, aku masih bingung, karena jika mereka sedang bersama, mereka tetap kompak. Terbukti saat aku dan Lita berjalan bersama mereka. Mereka melakukan lagi hal yang paling kami benci: bisik-bisik di belakang kami!
Hal yang tak kuduga terjadi lagi. Suatu sore mereka datang ke rumahku. Tujuannya adalah: meminjam uang Rp 50.000,00! Dan anehnya, mereka memberi alasan menggunakan uang itu untuk membantu teman mereka yang kena tilang tetapi tidak membawa uang. Aku tidak meminjaminya karena aku sudah tak percaya sepenuhnya terhadap mereka. Mereka terlalu sering berbohong padaku. Ibuku sampai sebal ketika aku menyebutkan nama Irene. Karena ibuku tahu, bahwa dulu baju olahragaku pernah tertukar dengan miliknya, dan dia juga meminjam sepatu wariorku sejak awal semester 2, tetapi sampai sekarang belum dikembalikan.
Bisakah aku mengatakan bahwa mereka adalah traitor (pengkhianat)? Bahkan aku tak yakin dengan pikiranku sendiri, terlalu banyak suudzon di otakku. Tak ada kebenaran, fakta, dan data pasti untuk mengungkap semua ini, yang ada hanya feeling. Tetapi, aku heran terhadap diriku. Apakah aku terlalu baik, sehingga dengan mudah aku bisa dimanfaatkan oleh mereka?
***
Konflik batinku hilang sesaat karena tegangnya ujian. Alhamdulillah, SMP ku lulus 100%. Dan aku juga bersyukur mendapat nilai terbaik sepanjang SMP saat ditotal Ujian Nasional dengan Ujian Sekolah. Aku mendapat ranking 4 paralel! Dan masih menduduki ranking 1 di kelas. Alhamdulillah. Kesibukanku menjadi panitia perpisahan telah menghilangkan negative thinking ku terhadap Irene dan Selly sesaat. Bahkan hingga aku memasuki jenjang SMA, aku mulai merasa tenang dengan berusaha melupakan masa lalu yang, menurutku, suram.
***
Pengambilan STTB adalah saat yang bahagia, karena aku bisa bertemu dengan teman-temanku di SMP. Seharusnya, pertemuanku dengan Selly yang nota bene “lebih dari teman biasa” (sahabat-red), menjadi pertemuan yang hangat. Namun, kenyataan yang terjadi justru tidak sama sekali. Semua teman saat melihatku selalu menyapa, tetapi Selly, dingin, bahkan sama sekali tak peduli denganku. Sebal sekali rasanya. Saat aku pulang, aku bertemu Irene yang ditemani ibunya. Aku jadi kasihan pada ibunya, mengingat bahwa Irene sering sekali berbohong pada ibunya. Sangat keterlaluan!
***
 Hatiku kembali menjadi tak karuan ketika teringat masalah yang masih menjadi misteri sampai sekarang. Keaslian hati dalam persahabatanku dengan Selly, dan Irene. Sampai-sampai aku tak bisa membedakan yang mana teman, yang mana pengkhianat. Namun, daripada memikirkan hal yang tak pasti, lebih baik mencari good things yang pastinya lebih banyak jumlahnya. Telah kutetapkan langkah, songsong masa depan, hadapi hari esok dengan harapan lebih baik dari yang kemarin, bersama teman-teman sejatiku dan SMA yang telah kupilih. Semoga imanku semakin kuat, dan semakin teguh di jalanNya, serta melupakan segala masalah yang tak terselesaikan, karena segala masalah itu hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu akhirnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar