Sabtu, 04 Oktober 2014

Sepiring Cah Sawi Buatan Ibuku


Mungkin, pelukisan cinta diibaratkan emas atau berlian yang nampak mewah dan elegan. Namun, tidak buatku. Bagiku, cinta juga bisa berbentuk sesuatu yang sangat sederhana, seperti sepiring cah sawi.

Sore itu, aku memiliki sebuah agenda yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. Hari itu kebetulan aku sedang puasa, sehingga ibuku bertanya sebelum aku berangkat.
“Kamu nanti pulang jam berapa?”
Aku menjawab, “Nanti paling ya maghrib, buk”.
“Nanti cari buka di luar aja ya, ibuk masak ayam og”, ibuku memberi saran yang membuatku diam sejenak berpikir tentang menu buka non nasi dan ayam.

-Sekilas cerita, beberapa lama ini sudah laporan ke ibuku tentang pengecualian-pengecualian makananku, yaitu:
“Buk, dikvy alergi ayam sama telur wi buk”
“Buk, dikvy harusnya ngurangi nasi wi buk”
Dari pantangan-pantangan yang telah kulaporkan tersebut, ibuku berpikir 2 kali ketika akan memasak-

Kembali ke cerita, ketika melihat aku berpikir mengenai menu yang akan kubeli, ibuku langsung menanggapi.
“Nggak usah ding, ndang pulang aja. Masih ada bakso ini. Nanti bisa masak mie pakai bakso. Pokoke selesai acara langsung pulang lho”, kata ibuku.
“Wah, yaudah. Dikvy juga bingung og mau makan apa. Hehe. Yaudah buk, berangkat. Salim. Assalamu’alaikum”, aku berpamitan.
“Ya, ati-ati. Wa’alaikumsalam”, ibuku menjawab.
Ketika acara yang aku ikuti masih di bagian inti, adzan berkumandang. Akhirnya aku pun berbuka dengan air putih yang kubawa dengan tumbler “cantik” (yang ini ada kisahnya sendiri)*. Setelah sholat maghrib, aku mendapatkan sms dari sepupuku untuk membantu mengerjakan PR.

Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke bulikku. Tiba di rumah bulik, terdapat sms dari masku.
Di mana? Dah dimasakin ca sawi ibuk
Baru membaca sms itu, aku sudah sangat terharu. Hanya karena obrolan sebelum berangkat, ibuku rela memasak cah sawi HANYA untuk aku yang berbuka. Segera saja, aku pulang ke rumah.
Kebetulan, ibuku sedang di luar. Setelah salim dan salam, aku masuk rumah. Selesai beres-beres, aku langsung menuju dapur lalu membuka wajan di atas kompor. Benar saja, ada seporsi cah sawi TANPA ada ayam, telur, dan sejenisnya yang memicu alergi. Kutuangkan saja seporsi cah sawi itu ke dalam piring kesayanganku. Dan akhirnya, tanpa menambah nasi, aku menghabiskan sepiring cah sawi buatan ibuku dengan penuh rasa syukur.

Sekali lagi, mungkin, secara mainstream cinta digambarkan dengan simbol-simbol yang elegan dan tampak berkilau. Cinta dari seorang ibu, yang memang sepanjang jalan, tiada akhir, bahkan ketika anaknya sudah tidak berumur kanak-kanak lagi. Memang layak jika cinta ibu digambarkan dengan hal-hal yang “WAH”. Akan tetapi, yang lebih luar biasa untukku adalah SEPIRING CAH SAWI BUATAN IBUKU, yang dimasak dengan penuh cinta kepada anaknya. Hanya karena aku berbuka puasa dan aku sedang tidak makan ayam, telur, dan mengurangi nasi, ibuku memasakkan cah sawi spesial hanya untukku.

Ya Allah, aku bersyukur padamu, telah dilahirkan ke dunia ini melalui seorang yang luar biasa, yang senantiasa menuntunku untuk terus berserah diri padaMU, untuk selalu mengingatMU, untuk kembali padaMU.


“Ya Rabb kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (Q.S. Ibrahim: 41)

Rabu, 06 November 2013

point to ponder :)

The more we understand about loss, the more we understand the true meaning of having….



Togetherness might end, but friendship will never end ^^