Mungkin, pelukisan
cinta diibaratkan emas atau berlian yang nampak mewah dan elegan. Namun, tidak
buatku. Bagiku, cinta juga bisa berbentuk sesuatu yang sangat sederhana,
seperti sepiring cah sawi.
Sore itu, aku
memiliki sebuah agenda yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. Hari
itu kebetulan aku sedang puasa, sehingga ibuku bertanya sebelum aku berangkat.
“Kamu nanti pulang
jam berapa?”
Aku menjawab,
“Nanti paling ya maghrib, buk”.
“Nanti cari buka di
luar aja ya, ibuk masak ayam og”, ibuku memberi saran yang membuatku diam
sejenak berpikir tentang menu buka non nasi dan ayam.
-Sekilas cerita,
beberapa lama ini sudah laporan ke ibuku tentang pengecualian-pengecualian
makananku, yaitu:
“Buk, dikvy alergi
ayam sama telur wi buk”
“Buk, dikvy
harusnya ngurangi nasi wi buk”
Dari
pantangan-pantangan yang telah kulaporkan tersebut, ibuku berpikir 2 kali
ketika akan memasak-
Kembali ke cerita,
ketika melihat aku berpikir mengenai menu yang akan kubeli, ibuku langsung
menanggapi.
“Nggak usah ding,
ndang pulang aja. Masih ada bakso ini. Nanti bisa masak mie pakai bakso. Pokoke
selesai acara langsung pulang lho”, kata ibuku.
“Wah, yaudah. Dikvy
juga bingung og mau makan apa. Hehe. Yaudah buk, berangkat. Salim.
Assalamu’alaikum”, aku berpamitan.
“Ya, ati-ati.
Wa’alaikumsalam”, ibuku menjawab.
Ketika acara yang
aku ikuti masih di bagian inti, adzan berkumandang. Akhirnya aku pun berbuka
dengan air putih yang kubawa dengan tumbler “cantik” (yang ini ada kisahnya
sendiri)*. Setelah sholat maghrib, aku mendapatkan sms dari sepupuku untuk
membantu mengerjakan PR.
Aku tidak langsung
pulang ke rumah, melainkan ke bulikku. Tiba di rumah bulik, terdapat sms dari
masku.
“Di mana? Dah dimasakin ca sawi ibuk”
Baru membaca sms
itu, aku sudah sangat terharu. Hanya karena obrolan sebelum berangkat, ibuku
rela memasak cah sawi HANYA untuk aku yang berbuka. Segera saja, aku pulang ke
rumah.
Kebetulan, ibuku
sedang di luar. Setelah salim dan salam, aku masuk rumah. Selesai beres-beres,
aku langsung menuju dapur lalu membuka wajan di atas kompor. Benar saja, ada
seporsi cah sawi TANPA ada ayam, telur, dan sejenisnya yang memicu alergi.
Kutuangkan saja seporsi cah sawi itu ke dalam piring kesayanganku. Dan
akhirnya, tanpa menambah nasi, aku menghabiskan sepiring cah sawi buatan ibuku
dengan penuh rasa syukur.
Sekali lagi,
mungkin, secara mainstream cinta digambarkan dengan simbol-simbol yang elegan
dan tampak berkilau. Cinta dari seorang ibu, yang memang sepanjang jalan, tiada
akhir, bahkan ketika anaknya sudah tidak berumur kanak-kanak lagi. Memang layak
jika cinta ibu digambarkan dengan hal-hal yang “WAH”. Akan tetapi, yang lebih
luar biasa untukku adalah SEPIRING CAH SAWI BUATAN IBUKU, yang dimasak dengan
penuh cinta kepada anaknya. Hanya karena aku berbuka puasa dan aku sedang tidak
makan ayam, telur, dan mengurangi nasi, ibuku memasakkan cah sawi spesial hanya
untukku.
Ya Allah, aku
bersyukur padamu, telah dilahirkan ke dunia ini melalui seorang yang luar
biasa, yang senantiasa menuntunku untuk terus berserah diri padaMU, untuk
selalu mengingatMU, untuk kembali padaMU.
“Ya Rabb kami,
ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari
terjadinya hisab (hari kiamat)”. (Q.S. Ibrahim: 41)