Jumat, 27 Juli 2012

AKU NGGAK PUNYA IDE: Sebuah awal dari segala perubahan

         Aku berdiri di atas panggung sambil membawa piala. Kulihat wajah bangga dari kedua orang tua dan teman-temanku di bangku penonton. Aku masih belum mengerti, kompetisi apa yang telah kumenangkan. Kuputuskan untuk membalik piala yang kupegang. Kubaca tulisan di piala itu. Juara 1 Lomba Menulis……. Belum selesai kubaca tulisan itu mendadak semua menjadi kabur. Lalu entah bagaimana caranya aku berada di sebuah pantai yang sangat indah. Kutarik nafas dalam-dalam sambil menyusuri pasir putih yang begitu mengesankan. Mataku tertuju ke sebuah tempat yang nampaknya nyaman untuk merebahkan diri. Tak sampai satu menit angin pantai yang semilir membuatku memejamkan mata.
         Suara alarm membuatku bangun dari tidur pulasku. Kuraih handphoneku lalu kumatikan alarm yang terus berdering. Kutatap sekitarku, poster-poster kartun di dinding, lemari baju di sudut ruangan, kipas angin di atas meja, dan  bed cover biru langit sebagai alas tidurku. Tak ada hamparan pasir putih yang kuharapkan. Ternyata yang tadi hanyalah mimpi. Mimpi yang aneh, tak jelas, tapi menyenangkan. Kulupakan mimpiku, lalu aku bersiap untuk berangkat ke tempat les, tempat dimana aku menghabiskan waktu liburanku yang begitu lama dan menjemukan. Empat bulan terasa sangat membosankan walau tiap harinya aku jarang di rumah.
         Sesudah melewati keramaian kota, akhirnya sekitar 20 menit aku sampai di tempat les dengan mata sayu karena mengantuk. Karena semua teman sudah berkumpul, pertemuan segera dimulai. Topik yang dibahas kali ini bebas, namun tiba-tiba tertuju pada satu inti, yaitu “CERITA”. Teman-temanku mulai berbicara tentang karya-karya yang telah mereka buat. Sungguh, hal ini membuatku sangat iri pada mereka. Mengapa mereka bisa? Apa saja yang aku lakukan selama ini? Mengapa aku tak bisa? Bagaimana caranya? Beribu pertanyaan mencerca ketidakmampuanku selama ini. Hanya aku yang tak bisa menjawab jika ditanya tentang hasil tulisanku. Mungkin aku memang bisa menjawab, dengan senyum. Ya, hanya itu. Hingga saatnya pulang, aku masih memikirkannya.
        Selama perjalanan menuju rumah, ingatanku tentang “CERITA” mulai berputar di otakku. Banyak sekali temanku yang sudah menghasilkan karya. Bahkan hampir semua temanku telah membuat puisi, cerita, artikel, kerajinan tangan, dan jumlahnya tak cukup satu. Aaaarrrrgggghhhh…. Aku harus bisa seperti mereka! Aku harus kreatif! Bagaimana bisa seorang yang terdaftar di jurusan bahasa tidak mengerti cara menuliskan sesuatu? Tak pantaskah aku masuk jurusan yang telah kupilih? Tapi, bagaimana cara mendapatkan ide? Pertanyaan di kepalaku makin tak terhitung jumlahnya hingga membuat  pandanganku ke arah jalan menjadi sedikit kacau. Untung saja tidak sampai menabrak kendaraan lain. Akhirnya kuputuskan untuk memikirkannya di rumah.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQjgnGrmvw3-43BYzHhNPIjxQ3Xi674PhzA4r8XJM3tziYTdFH3Dw
         Di rumah, aku hanya bisa mondar-mandir di ruang keluarga, lalu pindah ke kamar. Aku masih mencari ide, namun tetap tak kutemukan. Payah, olokanku pada diriku sendiri. Kepalaku menjadi pening setelah sekian lama berpikir. Belum ada titik temu. Aku hanya bisa menulis kata “I have no idea” di otakku. Dengan segenap ketidakmampuan kuputuskan untuk mencari ide di lain waktu, barangkali tiba-tiba ada sekilas yang terbesit. Kuberjalan ke kamarku sambil merenungi kepayahanku. Aku bertekad untuk membudayakan menulis sejak saat ini. Berangkat dari tekad ini, aku harus berusaha lebih keras dari yang sebelumnya. Makin  lama berandai-andai, makin lama pula penciptaan karya. Segera bergerak, maka akan kudapati jalan. Sambil mengepalkan tanganku yang gempal, aku meneriakkan tekadku di dalam hati.
         Keesokan harinya, aku masih dengan segenap kobaran semangatku mulai berpikir, apa yang harus kubuat untuk membuktikan eksistensiku kepada semua orang. Karena menulis adalah membuat keabadian. Tulisan seseorang yang telah lama meninggal pun pasti akan terus dikenang, dan yang paling penting adalah manfaat yang bisa diambil dari tulisan tersebut. Makin lama kuberpikir, makin keras perutku berbunyi. Perutku keroncongan. Ya, benar saja, aku belum sarapan. Satu, dua, tiga, empat. Dalam hitungan empat menit aku telah menyelesaikan sarapanku. Perut terisi, seharusnya otak mengikuti. Kuputuskan untuk masuk kamar dan berguling-guling mencari inspirasi. Mungkin orang yang melihatku akan tertawa, tetapi ini adalah salah satu cara ampuhku untuk mencari ide tanpa disertai rasa kantuk.
         Tiba-tiba ibuku lewat dan melihat tingkah anehku. Beliau hanya tersenyum dan melanjutkan kegiatan rutin di dapur. Setelah melihat ibuku tersenyum dan masuk dapur, aku justru berlari kecil mengikuti ibuku ke dapur yang hanya muat untuk dua orang saja. Ya, aku lebih tertarik untuk memasak, barangkali saat memasak akan muncul ide-ide yang brilian. Dua tiga. Tiga jam kulalui dengan hanya memotong wortel, buncis, dan sebagainya. Kemana perginya ide? Dari mata turun ke hati kah? Ups, itu kan salah satu jenis ide. Tapi sudah banyak yang membuat tentang hal itu. Ahhh, cukup dulu untuk hari ini. Sepertinya aku sudah mulai bertambah aneh.
         Hari berikutnya, aku bertekad untuk membuat outline. Meskipun yang ada di kepalaku lagi-lagi hanyalah “I have no idea”. Aku mengambil secarik kertas dan mulai menulis. Tiga kata yang paling penting segera hadir di pikiranku. Pembukaan, isi, penutup. Pidato banget, batinku pada diri sendiri. Yang penting sudah membuat kerangka, sudah lumayan. Dan akhirnya, hari ini aku hanya mendapatkan tiga kata untuk awal perjalanan kisahku. Entah kapan lagi akan kudapatkan lagi inspirasi itu. Inspiration, where are you?
Keesokan harinya, aku yang telah mendaftarkan diri ke sebuah seminar kepenulisan segera bergegas merapikan penampilanku. Bismillah, berangkat ke seminar itu, aku bertekad untuk menggenggam sebuah pelajaran yang wajib aku terapkan sepulang dari sana. Tak bertemu siapa-siapa. Memang, ini tujuanku, aku hanya ingin menampar diriku sendiri tanpa bantuan teman di sampingku. Malu yang kumiliki tak ingin kuberitahukan kepada temanku. Aku sudah membulatkan tekad, maka aku harus memaksimalkan potensi.
         Sepulang dari seminar, aku terngiang kembali perkataan pembicara. “Jadikanlah sekitarmu inspirasi. Apapun yang kau temukan di lingkungan sekitarmu adalah inspirasi. Semua hal yang ada di sekitarmu bisa menjadi cerita, meskipun banyak kategori cerita yang mungkin akan terbentuk. Fiksi bisa, non fiksi atau ilmiah pun bisa. Tinggal pasang mindset yang sesuai dengan diri kalian masing-masing. Selamat Berkarya!”. Benar-benar menginspirasi.
         Akhirnya, ideku bisa muncul. Apa ya? Hehe. Ya, sekarang ideku bak ombak yang selalu mendekati pantai. Meskipun habis di pantai, namun masih ada ombak yang datang lagi untuk menyusul rekan ombak yang telah berakhir tadi. Artinya, ide memang selalu datang, namun di waktu yang lain ide dengan kemasan berbeda juga datang menyusul di ide-ide sebelumnya. Dan demikianlah akhir dari cerita sebuah kekosongan ide yang sebenarnya merupakan awal dari segala karya yang nantinya akan kubuat, insya Allah.

Rabu, 20 Juni 2012

PETUALANGAN CINTA DINDA

Cinta. Satu kata yang unik, sulit untuk diterjemahkan. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini sepertinya aku mulai mencari arti kata cinta. Sejak mengenal lelaki itu, aku mengalami berbagai hal baru yang sangat berbeda dari biasanya. Mas Adi. Sosok yang sederhana, pendiam, tetapi menyenangkan. Membuatku selalu terngiang olehnya. Senyum ramahnya, mata sipit yang selalu terlapisi dengan kacamata minusnya, bahkan warna baju yang telah ia pakai. Yang paling kuingat adalah nasehat-nasehat bijaknya, semua masih fresh dalam ingatanku.
Aku mulai dirundung rindu padanya. Duhai pujaan hati, kapankah aku bisa bertemu denganmu lagi? Padahal baru seminggu tak bertemu, rasanya bagai setahun. Saat makan, minum, mandi, selalu muncul kamu, kamu dan kamu di pikiranku. Bahkan di saat aku tidur pun kamu tak pernah absen dalam mimpiku. Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Aku harus bertemu dengannya! Bagaimanapun, obat rindu yang paling manjur adalah bertemu. Aku harus menemuinya tanpa menunda-nunda waktu, aku harus berpetualang besok!
***
Malam yang dingin tak membuatku surut untuk menyusun strategi petualanganku besok pagi. Kususun rencana hingga detail. Dari uang saku yang kumiliki, caraku keluar dari kamar, kendaraan yang akan kutumpangi, hingga waktu yang kubutuhkan untuk melakukan semua rencanaku. Sudah kutulis dalam satu kertas dan kumasukkan ke dalam dompetku. Sangat rapih sekali kutata perlengkapan bepergianku. Kusiapkan pula pakaian yang akan kukenakan besok di ujung kasur. Kaos lengan pendek, celana jeans, jaket, dan topi. Aku mulai bimbang saat teringat orang tuaku, bagaimana jika mereka mengetahui anak semata wayangnya ini menghilang? Setelah berpikir lama, akhirnya kuputuskan untuk membuat sepucuk surat yang isinya seperti ini:

Teruntuk mami tercinta,
Assalamu’alaikum wr wb.
Mi, maaf Dinda mau pergi sebentar mencari teman Dinda. Tenang saja mi, Dinda gak akan lama. Jika Dinda sudah bertemu, Dinda akan segera pulang.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Salam sayang, Dinda ^^

Setelah selesai menulis surat itu, rasa kantuk segera menyergapku, dan aku pun tertidur.
***
Pukul empat pagi. Aku beranjak dari tempat tidurku, lalu segera mandi. Sebenarnya aku tak pernah bisa bangun sebelum subuh, tetapi kali ini menjadi sangat mudah. Mungkin karena keinginanku yang kuat beserta persiapanku yang matang untuk mencari pujaan hatiku. Aku semakin yakin akan berhasil menjalankan misiku. Untung saja semalam aku sudah mencari informasi tentang alamat yang sedang ditempati si dia dalam seminggu ini. Semalam aku telah mengirim pesan singkat ke sahabatku yang dekat dengan Mas Adi. Baik sahabat SMA ku maupun sahabat yang berada di Kebumen, tempat dimana Mas Adi sekarang tinggal. Jantungku berdegup kencang seiring kobar semangatku. Akhirnya, di subuh hari aku langsung mengendap-endap keluar rumah, dan untungnya papi dan mami belum keluar dari kamarnya. Langkah awalku sukses besar! Pasti akan sukses di langkah-langkah berikutnya.
Kuberjalan menyusuri gang perumahan mungil yang masih sangat ramai dengan kesunyian. Masih gelap pula. Setelah beberapa saat kususuri jalan, sampai juga aku di terminal. Beruntungnya aku, karena bus yang kucari sudah standby di dekat pintu keluar terminal. Kucari tempat duduk yang menurutku paling nyaman, karena aku akan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Di dalam bus baru ada lima orang termasuk aku. Tujuh orang, jika sopir dan kondekturnya dihitung. Jadi, sangat mudah sekali untuk mencari “the most comfortable seat” dalam petualanganku kali ini.
***
Perjalanan Solo-Kebumen membuatku terserang kantuk yang luar biasa. Akhirnya kuputuskan untuk tidur sekarang, agar nanti bisa segar saat bangun. Namun, beberapa saat setelah aku tidur, dengan terpaksa kubuka mataku perlahan karena pundakku serasa tertindih sesuatu. Ternyata tas punggung seorang lelaki bertopi hitam tak sengaja mengenaiku saat akan duduk di sebelahku. Kugeser sedikit posisi dudukku ke dekat jendela. Aku tak dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas, karena rasa kantukku masih merajalela. Namun, sekilas nampak familiar di mataku. Entahlah, aku masih malas berpikir. Kulanjutkan lagi tidurku yang sempat terganggu oleh “teman sebangkuku” di bus yang baru saja datang.
Tidurku diganggu lagi! Kali ini oleh kondektur. Katanya, bus akan tiba di terminal Kebumen sekitar tiga puluh menit lagi. Kali ini aku harus segera bangun, karena tinggal sebentar lagi aku akan bertemu pujaan hatiku. Hemm, ternyata teman sebangkuku sudah tidak ada. Rupanya dia hanya sebentar saja naik bus ini. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Mamiku menelepon. Angkat nggak ya? Kayaknya nggak usah aja deh, nanti malah dimarahin, disuruh pulang. Panggilan itu  kubiarkan saja hingga berhenti. Sesaat kemudian mamiku menelepon lagi. Aduh, bagaimana ini? Aku harus melakukan apa? Hemm, sepertinya aku harus segera mematikan handphone-ku dan menggantinya dengan kartu perdana baru.
***
Turun dari bus aku langsung mencari counter untuk membeli perdana. Aku mulai merogoh bagian depan tasku untuk mengambil dompetku. Namun, hasilnya nihil! Dompetku tidak ada! Gawat, bagaimana nasibku? Aku tak punya cukup uang untuk pulang nanti. Aku mulai panik lalu berlari kembali ke dalam bus yang aku tumpangi tadi. Aku bertanya pada kondektur, apakah ada dompet yang terjatuh atau tidak. Tetapi beliau mengatakan tidak ada. Aku pun mulai mencari ke tempat dudukku tadi. Hasilnya pun percuma, dompet itu tak ada di seluruh bagian bus. Aku mulai menangis, meratapi nasibku di kota orang. Sembari turun, kondektur itu menepuk-nepuk pundakku agar aku tabah menghadapi semua ini. Aku bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mulai kehilangan keseimbangan. Rasanya semua menjadi kabur, bahkan orang-orang yang berlalu-lalang sudah terlihat samar di mataku. Tiba-tiba semua rasanya menjadi gelap, dan aku tak tahu apa yang terjadi.
***
Bau minyak angin yang menyengat membuatku bangun. Ternyata aku pingsan di dekat bus, lalu dibawa ke dalam pusat informasi terminal. Aku berusaha duduk, meski kepalaku terasa pening. Kulihat sesosok pria bertopi hitam duduk di sebelahku. Setelah kuamati dengan seksama, ternyata dia adalalah “teman sebangkuku” di dalam bus tadi. Dan yang lebih membuatku terkejut, lelaki itu adalah pujaan hatiku! Pantas saja tampak familiar. Tetapi dia langsung keluar setelah menyuruhku kembali beristirahat. Aku ingin menyusulnya, apa daya badanku belum mampu. Tiba-tiba aku teringat dompetku yang hilang. Setelah kuperiksa tasku, kutemukan dompetku kembali, lengkap dengan isinya. Tak ada sebiji pun yang hilang. SIM, Kartu Pelajar, ATM, uang kertas, bahkan uang logam pun tak berkurang sama sekali. Aneh, siapa yang mengambil? Apa mau si pencuri? Menurutku, semua orang yang berada di dalam bus tidak ada yang mencurigakan. Justru, pria itu! Ya, pujaan hatiku! Apakah dia pencurinya? Apa sebabnya? Oh, kepalaku mulai pening lagi, lebih baik segera ke counter saja agar bisa mengganti perdana. Aku masih belum boleh berpikir terlalu berat.
***
Setelah membeli perdana baru, segera kuganti perdana lamaku dengannya. Aku langsung menelepon Nisa, sahabatku yang tinggal di daerah Kebumen, yang kemarin telah aku beri sebuah pesan singkat berisi permintaan tolong untuk singgah di rumahnya, karena daerah rumahnya sama dengan alamat Mas Adi yang diberikan teman SMA ku tadi malam. 10 menit kemudian, aku dijemput olehnya dan dibawa ke rumahnya. Sebuah rumah sederhana, sejuk, dan sangat rapi. Kuceritakan semua masalah yang kupunya, beserta serentetan kejadian saat perjalananku ke kota ini. Nisa hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang tertutup oleh selembar kain lebar. Dia memberiku isyarat untuk segera ke kamar mandi untuk berwudhu, kemudian beristirahat. Aku memberi tahu bahwa aku sedang tidak sholat. Tetapi, biasanya aku pun tidak melaksanakannya. Apa gunanya? Toh aku tak pernah sholat pun masih bisa hidup seperti biasanya, tak ada yang terjadi padaku.
Sore harinya aku terbangun oleh suara adzan Asar yang begitu merdu mengalun tepat di sebelah rumah. Indah sekali. Selama aku tinggal di desaku, yang kudengar hanya suara seorang kakek yang mengisi waktu adzan selama lima kali sehari, tak pernah digantikan orang lain. Pernah suatu kali aku berpikir, begitukah muslim? Penghormatan kepada orang tua justru menampakkan sikap ketidakpedulian akan kondisi kakek itu. Sebenarnya kakek itu dapat digantikan oleh orang yang setidaknya lebih muda, yang masih memiliki power suara. Hah, bodo amat, aku kan cuma pendengar, bahkan aku tak melaksanakan sholat. Ngapain juga mikir kayak gitu. Lalu aku pun kembali terlarut pada suara adzan yang memesona itu. Siapa si empunya suara? Aku harus mencari tahu.
Berbekal rasa penasaran, aku datang ke masjid di sebelah rumah. Aku melongok dari jendela, mencari tahu siapa yang adzan, tetapi tidak terlihat. Aku mulai berjalan menuju ruang sound. Dari luar terlihat bayangan seseorang berpeci, sambil meletakkan tangan ke telinganya. Setelah adzan selesai, orang itu keluar, dan aku pun dengan sigap sembunyi di balik tembok. Kulirik pelan-pelan dari balik tembok, penasaran sekali aku ingin melihat wajah muadzin itu. Saking kagetnya, hampir saja aku ketahuan pria itu. Lagi-lagi, dia adalah pujaan hatiku! Apa maksud semua ini? Aku makin tak mengerti. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah Nisa. Di perjalananku kembali, Nisa yang berjalan sambil membawa mukena datang menghampiriku. Dia bertanya sedang apa aku, tetapi aku hanya cengar-cengir saja. Lalu Nisa mempersilakan aku untuk masuk ke kamar lagi, karena wajahku masih terlihat capek. Aku pun ngeloyor pergi ke kamar, mengambil ganti, lalu mandi. Usai mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Ternyata Nisa masuk kamar. Nisa mengajakku ngobrol sedikit di tepi kasur. Dia mengajakku makan malam di ruang makan nanti setelah sholat Maghrib. Aku hanya mengiyakan saja penawarannya, aku justru sangat berterimakasih, karena diperlakukan seistimewa ini.
Seusai Maghrib, Nisa menyiapkan makanan di meja makan. Aku tak mau kalah, aku mencoba membantu sebisaku. Setelah selesai menyiapkan, Nisa memanggil seseorang di salah satu kamar. Sempat kuingat di suratnya yang pernah dikirim bahwa dia tinggal bersama kakak laki-lakinya, karena ayahnya telah meninggal, dan ibunya mencari nafkah sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Ah, aku sangat kagum padanya karena dia begitu tegar menghadapi semua. Dan aku juga semakin penasaran saja aku dengan kakak laki-lakinya yang katanya adalah seorang ikhwan. Sebenarnya aku tak tahu apa itu ikhwan, tetapi kata Nisa, ikhwan adalah laki-laki yang berpegang teguh pada syariat Islam, taat beribadah, dan sebagainya. Betapa terkejutnya aku, sampai-sampai hampir terjungkal dari kursi. Tiga kali sudah aku dibuatnya terkejut hari ini. Dia lagi! Pujaan hatiku! Akhirnya, aku tak bisa mengelak semua pertanyaan yang telah menyerupai benang ruwet di otakku.
“Lho, mas Adi? Mas Adi kakaknya Nisa to? Mas Adi yang tadi naik bus ya? Mas Adi yang tadi adzan ya?”, tanyaku tiada henti, mengeluarkan segala rasa penasaranku.
“Eh, Din, sabar donk. Masa’ nanya kok nggak ada jedanya. Ayo mas, dijelasin aja, biar Dinda nggak bingung lagi”, Nisa menengahi, sabar.
“Hem, sebelumnya, maaf ya, dik Dinda. Mas nggak bermaksud bikin kamu bingung, mas hanya ingin kamu sadar dengan apa yang telah kamu lakukan sampai saat ini. Apa alasan kamu datang kemari? Apakah lebih penting dari orang tuamu? Atau bahkan, apakah sudah mendapat ijin dari orang tuamu? Jika kamu tidak bisa menjawab, kamu berarti harus introspeksi diri, apa yang salah di diri kamu, udah ngerti belum?”, Mas Adi menjelaskan panjang lebar.
“Iya mas. Mmm, tapi nggak bisa jawab mas. Kan ini top secret. Eh, tapi pertanyaanku tadi kok belum dijawab?”, aku mencari-cari jawaban dari topik awal yang sempat hilang.
“Oh iya, lupa. Tapi, panjang banget lho, ceritanya, gak papa nih?”, tanyanya basa-basi.
“Aduh, mas, ndang cepet crita to, selak penasaran ini…”, aku ngeyel, tak sabar
“Oh, iya dik. Jadi, begini. Tadi pagi, ibumu telepon mas sekitar jam delapan, nyariin kamu. Katanya ibumu udah telepon kemana-mana, ke temen-temenmu, ke saudara-saudaramu, tapi nggak ada yang tahu. Akhirnya ibumu telepon mas. Mas awalnya bingung, kamu pergi kemana. Tapi Nisa bilang, kamu pergi ke Kebumen. Alhasil mas langsung cari kamu. Dari bus ke bus mas ngambilin dompet orang-orang yang mirip kamu, tapi langsung mas kembaliin lagi, biar nggak ketahuan. Sebenarnya cara yang salah, tapi gak papa lah, yang penting nggak ambil isinya. Nah, giliran waktu dompetmu mas ambil, mas taruh dulu di kantong tanpa mas baca identitasnya. Tiba-tiba dompetmu dicopet, terus mas kejar sampai turun bus dan akhirnya pencopetnya tertangkap. Setelah mas serahkan copetnya ke kantor polisi, mas langsung membuka dompetnya, dan langsung saja mas cari taxi untuk pergi ke terminal terdekat untuk nyusul bus yang kamu tumpangi tadi. Di perjalanan, mas telepon ibumu agar tidak khawatir, karena mas udah nemuin kamu. Ibumu bilang gak papa, asal udah di tempat yang jelas. Ibumu tu khawatir banget lho, Din. Jangan diulangi lagi ya?”, cerita Mas Adi.
“Ooooooo gitu to. Iya mas, janji. Tapi, ceritanya lanjutin doonk”, pintaku.
“Hem, iya deh. Terus, waktu mas sampai di terminal, mas lihat kamu jalan sempoyongan. Mas langsung lari nangkap kamu sebelum jatuh ke tanah. Mas teriak minta bantuan untuk ngangkat kamu ke dalam pusat informasi. Saat kamu masih pingsan, mas masukin dompetmu ke dalam tas. Waktu kamu dah bangun, mas pikir tugas mas selesai. Soalnya, yang mas tahu, kamu nggak punya sanak saudara di sini, jadi kamu pasti menghubungi Nisa. Dan ternyata, benar kan? Bahkan kamu berniat untuk di sini sementara. Dan lagi, kamu sudah silaturahim ke masjid sebelah, sudah tahu muadzinnya. Ckckck, Dinda, Dinda. Setelah mendengar semua cerita Nisa tentang kamu, mas jadi ingin ketawa sendiri”, Mas Adi tertawa kecil.
“Nisaaaa, kamu cerita semua? Aduh, yang bener aja?”, pipiku seperti terbakar.
“Eh, jangan salah Din, meskipun aku terbuka dengan masku, tapi aku nggak akan setega itu cerita tentang rahasiamu”, jawab Nisa sambil mengedipkan sebelah mata.
“Ooh, yaudah, Alhamdulillah, kalau gitu”, aku kembali tersenyum.
“Eh, emang tentang apa to Nis, Din? Oiya, Din. Ibumu juga titip pesan buat kamu, segera telepon, beliau masih khawatir”, kata Mas Adi.
“Oh, iya, bentar. Halo, Assalamu’alaikum mi? Iya mi, aku udah di rumah Nisa. Knapa mami nggak cerita kalau Mas Adi itu kakaknya Nisa mi? Eh, iya, lupa. Maaf banget ya mi, bikin mami khawatir. Eh, apa mi? Dinda boleh di sini seminggu? Wah, makasih banget ya mi! Oh, belajar ya mi, iya mi, iya. Yaudah mi, Dinda siap melaksanakan tugas. Dah mami, Assalamu’alaikum”, kututup telepon dengan senyum ceria.
“Din, beneran kamu disuruh nginep di sini seminggu?”, tanya Nisa yang tadi sedikit mendengar percakapan ibu dan anak tadi.
“Iya Nisaa, mami pengin aku berubah, mami pengin aku belajar dari kamu dan Mas Adi. Mami khawatir, gara-gara udah nggak pernah lihat aku sholat lagi, hehe”, aku nyengir kuda.
“Apa? Kamu nggak sholat kenapa? Berarti hari ini kamu bohongin aku?”, Nisa emosi.
“Eh, pssst, kalo hari ini beneran Nis, aku lagi nggak..”, bisikku.
“Eh, udah, udah, ini makanan mau dianggurin ampe kapan? Masa’ kita dari tadi cuman ngobrol aja? Nggak baik nyuekin makanan, yang di luar aja masih banyak yang nggak bisa makan, kita yang diberi nikmat lebih, harus memanfaatkannya dengan baik. Kita harus banyak bersyukur”, Mas Adi memberi ceramah singkat.
Inggih, Mas Adi!”, jawabku dan Nisa bersamaan. Lalu disambut dengan tawa bersama.
Hangatnya suasana makan malam bersama membuat hatiku tergerak. Aku harus berubah. Not just think about you, Mas Adi. But, think about your Creator! That’s the main point.
***
Besok paginya, aku mandi besar agar aku dapat sholat. Tentunya setelah mendapat petunjuk cara mandi yang benar. Hati ini rasanya sangat kering akan siraman rohani. Berkali-kali aku bertanya pada Nisa tentang hukum ini, hukum itu, tentang fiqh wanita, dan tentunya motivasi. Dari Nisa aku belajar berbagai ilmu agama yang belum aku ketahui. Dari Nisa aku belajar mengaji, memperlancar kekakuan lidahku dalam membaca firman Allah, Al-Qur’an. Nisa pun kagum atas kemajuanku yang pesat. Aku juga tak mengerti mengapa demikian, tetapi pasti Allah telah memberiku kemudahan dalam jalan mendekatkan diri padaNya.
Tak terasa, genap sudah seminggu aku di rumah teduh ini. Rumah yang penuh barokah, dengan dua penghuninya yang sholeh-sholehah. Ingin ku tetap tinggal di sini, tetapi sekolah telah menungguku esok hari. Orang tuaku pun juga sudah bolak-balik meneleponku untuk menyuruhku segera pulang. Dengan mencoba untuk ikhlas, aku berpamitan dengan dua orang yang sangat aku sayangi ini. Bukan sayang dalam hal yang menyesatkan, tetapi sayang sesama saudara muslim. Tak ada lagi rasa yang dahulu pernah memenuhi hatiku, rasa cinta yang sebenarnya adalah nafsu. Kini ku telah sadar bahwa cinta yang hakiki hanya dari Allah. Telah kumantapkan hati untuk mengenakan jilbab, dimulai hari ini, hingga akhir hayatku nanti. Setelah Nisa dan Mas Adi mengantarku ke terminal, akhirnya, perpisahan pun terjadi. Aku dan Nisa sempat menangis. Semoga kita diperkenankan untuk bertemu lagi di waktu lain yang lebih indah.
***
Setelah lulus program S2, aku bercita-cita untuk segera bekerja dan menikah di target usia maksimal 27 tahun. Alhamdulillah, saat ini aku masih berusia 25 tahun, sehingga masih ada kesempatan untuk mencari beberapa calon pendamping hidup. Setelah kuutarakan kemauan ini kepada mamiku, tiba-tiba beliau mengatakan bahwa beliau sudah menjahitkan baju pengantin untukku, bahkan sudah lengkap dengan pesanan undangan, catering, dan sebagainya. Aku kaget bukan main, untung saja baru pesan, belum jadi. Tapi, kenapa mami seegois ini? Aku belum tahu siapa yang akan menikah denganku. Bertemu saja belum, bagaimana mau menikah? Tetapi mamiku hanya tersenyum sambil menyebutkan tanggal pertemuan antara keluarga calon suamiku dengan keluargaku. Aku hanya berharap pada Allah. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hambaMu.
***
Hari yang mendebarkan itu datang. Dag-dig-dug hatiku saat membuka pintu kamarku untuk keluar. Tiba-tiba seseorang memelukku.
“Nisa! Gimana kabarmu? Ada perlu apa kemari, Nis?”, aku tak kuasa menahan air mata.
“Cup, cup. Calon pengantin nggak boleh nangis ya. Kan udah gede. Alhamdulillah, ana bi khoir. Kamu cantik banget, Din! Aku kemari ya mau silaturahim donk, silaturahim ke calon kakak ipar”, jawabnya sambil menitikkan air mata juga.
“Wah, bisa aja kamu. Eh, sama siapa ke sininya? Ngomong-ngomong, kok kamu tahu kalau aku mau menikah? Eh, maksudnya kakak ipar?”, tanyaku dengan nada bingung.
“Hem, mendingan, kita jalan dulu ke ruang tamu ya, semua jawaban dari pertanyaanmu tadi ada di sana. Ada yang nunggu kamu di sana tuh”, Nisa menuntunku ke ruang tamu.
Betapa terkejutnya aku, bahwa yang menungguku adalah Mas Adi, yang tak lain tak bukan adalah calon suamiku, dan ibunya. Percakapan yang terjadi adalah penetapan tanggal akad nikah dan resepsi yang rencananya akan dilaksanakan sebulan lagi, insya Allah. Petualangan cintaku dulu, kini telah dibingkai dengan lengkung-lengkung garis takdir yang begitu indah. Dan Mas Adi pun tersenyum sangat manis kepadaku.

Sabtu, 19 Mei 2012

hari ini,, aku dibangunkan dari lelap tidurku. terdengar riuh suara di rumahku yang tak biasa. tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Ya, hari ini adalah hari yang berbeda. Hari ini adalah hari keberangkatan kakakku ke Kalimantan.
Sebenarnya, ke Kalimantan untuk bekerja, namun apa mau dikata, bagaimanapun aku, sebagai adiknya, pasti menyimpan kesedihan yang mendalam. Aku yang sebenarnya berniat untuk ikut mengantar ke terminal, sudah menyiapkan propertiku untuk berangkat. tetapi tiba-tiba perutku terasa sangat sakit. Aku tak jadi ikut mengantar kakakku. Segera saja semua berangkat ke terminal. Aku yang mengikuti sampai depan rumah terus melihat wajah kakakku sampai masuk mobil. Seketika itu air mataku tak tertahankan. Aku yang merasa sakit perut langsung menuju tempat yang sudah seharusnya aku kunjungi. Di dalam ruang itu aku menangis sejad-jadinya, mumpung sudah tidak ada orang di rumah. Segera aku berpikir, bahwa semua memang ada hikmahnya. Aku diberi sakit perut agar dapat menangis dan tampak kuat di hadapan semuanya. Keluar dari ruangan itu, tiba-tiba aku melihat ibuku masuk rumah lagi. Ternyata mengambil barang yang teringgal: tiket pesawat! Wah-wah, benar-benar. Tapi, dengan begitu aku bisa melihat wajah kakakku lagi. Setelah semua benar-benar sudah berangkat, aku langsung mendirikan sholat dan mendoakan kakakku.
Selang satu jam, keluargaku sampai di rumah. Ibuku, aku tau, dengan mata sembab berbicara kepadaku. Tak sepenuhnya kumengerti perkataan beliau karena aku sedang konsen menyeterika baju. Merasa pusing, setelah menyeterika aku segera tidur kembali.
Saat itu, aku bangun dan segera diminta ibuku untuk mengirim sms. Ternyata sudah sampai Jombang. Terus dan terus hingga sekitar jam 1 siang, kakakku sudah tiba di Bandara Juanda. kakakku yang diantar omku segera cek in dan kemudian berpisah. Di saat itulah keribetan terjadi. Omku tidak tau nomor HP kakakku, bapakku menelpon saudaraku yang ada di Kalimantan untuk memastikan siapa yang akan menjemput, bla bla bla. Ribet sekali. Tapi akhirnya maslah terselesaikan ketika pukul 3.30 sore.

Image
Alhamdulillah, akhirnya kakakku tiba di tujuan. Yaitu rumah Om Ngajo di daerah Sampit, Kalimantan. Ketika itu om yang disana menelpon bahwa kakakku sudah tiba dengan selamat tidak lemas sama sekali. Alhamdulillah, karena kakakku adlah seorang pemabuk perjalanan, semua mengkhawatirkan kondisinya. Tetapi Allah memberi kemudahan dengan memfitkan kondisi kakakku smpai tujuan.
Malamnya, kami saling berkirim sms. Ada banyak cerita di sana….. Ternyata, di sana, listrik baru menyala pada pukul 5.30 sore dan akan mati pada pukul 10.00 malam,, amazing! Lalu kamar mandi. Di sana, kamar mandinya masih terbuka, tetapi berada di dalam rumah. Airnya melimpah, tetapi harus ditimba sendiri. Dan airnya, katanya berwarna seperti teh… Waow…  Katanya, di luar gelap sekali. Di dalam kalau sudah jam 10 malam pun pasti juga. Saat tadi kakakku dijemput, katanya naik motor, tapi, ternyata harus menyeberangi sebuah sungai  yang lebarnya katanya lebih dari 5x lipat Bengawan SOLO! Woow, katanya juga, airnya tenaaang banget.
Dan sekarang, aku diberi tanggung jawab untuk meneruskan amanah kakakku. Menjadi sekretaris Karang Taruna, melangsungkan bisnis pulsa, dan memegang laptop sebagai harta pribadi. Bahuku terasa sangat berat ketika pertama kali kakakku mengatakan demikian. Namun,aku tak boleh menyerah! Aku harus bijaksana dan bisa menjalankan amanah dari kakakku. Ini adalah semangat yang ditularkan kakakku kepadaku. Jadi orang harus teliti dan hati-hati. Manajemen waktu dan keuanganku harus segera diubah….
Aku menyadari, semua ini tak akan kudapat tanpa bimbingan dari kakakku. Aku harus senantiasa menyuportnya, mendoakannya, agar kakakku bisa sukses di rantau orang… Amiin….
didedikasikan spesial buat kakakku,,, Mas anggih, MANGGIH. I love you.. ^^

Kami di sini Mendukungmu,,,,, :'(

Sepi… kini terasa sepi…
tawamu,
candamu,
nasehatmu,
kini tak ada lagi…

aku akan merindukannya,
meninju perutmu,
memukul lenganmu,
menggelitik pinggangmu,
mengelus rambut cepakmu,

aku akan menantinya,
ilmumu,
ceritamu,
nasehatmu,
pengalamanmu,

takkan terganti oleh siapapun,
sekali kamu,  tetap kamu

aku ingat kala kau pura-pura jatuh
pura-pura tersandung
meniru gaya pemain sepak bola
bak kiper profesional kau menangkap angin
layaknya bola sudah di tanganmu

suara anehmu,
cempreng,
ngebass,
sopran,
begitu aneh dan sungguh membuatku teringat

semua, tak pernah kulupa
semua, pasti kan terkenang
meski kau jauh di pulau itu
meski jarak memisahkan kita

meski aku tak pernah menampakkan tangisku
meski aku tak pernah menampakkan rasa sayangku
tapi asal kau tau
saat kau tak di hadapanku
aku hanyalah orang yang lemah
tak punya daya upaya
tak bisa menahan tangis untukmu

tangis,
sedih,
sepi,

namun,
semua selalu berdoa
untuk kebaikanmu
agar selalu menyertaimu

selamat berjuang, kakak
kami di sini mendukungmu :’)

di ujung kamar, berlapis pilu

Minggu, 06 Mei 2012

mengingat kembali kejadian sepekan yang lalu,,,
-----
Ahad, 29 April 2012

Pagi-pagi aku sudah bangun untuk melaksanankan kegiatan. Apa yang spesial hari ini? ada REBONDING!
Refreshing, Outbond, dan UpGrading. BADKO dan UMMAD, organisasi yang aku ikuti di desaku, Ngringo tercinta. Adikku juga ikut dalam acara ini. Setelah siap dengan berbagai perlengkapan yang kubawa, aku memminta kakakku untuk mengantarku ke Asy-Syukur.
Aku masih membawa laptop milik kakakku saat berangkat untuk mennghapus beberapa foto yang ada di dalam camdig. Sesaat setelah itu, kakakku datang untuk mengantar adikku lalu aku mengembalikan laptopnya.
Acara dimulai dengan sambutan dari takmir masjid dilanjutkan dengan doa. Adik2 peserta begitu lugu dan membuatku tertawa melihat tingkahnya.
Akhirnya kami berangkat naik bus kecil. Pnitia putri terpaksa berdiri semua karena kehabisan tempat duduk yang memang sangat pas untuk 19 peserta putri. Sepanjang perjalanan kami bercerita kesana kemar. Begitu menyenangkan. Sampai akhirnya kami tiba di tujuan, lalu menata tempat acara.
Sempat kacau, karena peserta menyebar di berbagai tempat. Namun segera terkondisikan saat acra dimulai. Ramah tamah benar-benar sesi yang menyenangkan. Mas yang satu itu memang bisa membawa susasana. Mas MC dengan suara khasnya ternyata kurang bisa membuat peserta tersihir. Hehe. Karena masih anak-anak, jadi peserta masih susah diatur, terutama saat materi oleh Ustadz Kuncoro.
Aku teringat akan mandat ibuku, yaitu membawa HP adikku selama acara. Awalnya HP itu dalam kondisi mati. Tanpa basa-basi, kucoba menghidupkan HP itu.
Apa yang aku temukan? Awalnya hanya pesan dari mas yang suka membawa suasana itu tentang pemberitahuan REBONDING. Ya, aman. Setelah itu kutelusuri pesan yang lain yang membuatku tercengang, lemas, dan menjadi bad mood seketika. SMS dari pacarnya yang sangat "disgusting". Ahh,, tak kuat aku menceritakannya. Wajahku langsung mendung, aku kehilangan semangatku. Tapi ini kesempatan untuk menyelidiki lebih jauh. Kulanjutkan kegiatanku,, namun akhirnya teman-teman mengetahui ada sesuatu yang terjadi denganku. Mereka dengan gigih membuatku tersenyum, tertawa, dan kembali bersemangat. Dengan energi yang tersisa, rasanya tamparan itu membuatku bangun untuk bangkit dan melanjutkan hari ini.

Sedikit masih ada rasa mengganjal di hati. Setelah itu, ketika aku melihat adikku, ingin aku melemparinya dengan sesuatu yang bisa kulempar. Astaghfirullah.... Sabar.....

Hatiku lebih terhibur lagi saat Outbond. Adik-adik yang polos dan lugu sangat senang bermain games yang sudah disediakan para trainer. Aku hanya mengikuti mereka sebagai pegawas.Karena dari awal memang aku yang ditugasi untuk mencari peserta putri terbaik. Menyenangkan!!! Sampai asar datang, akhirnya sesi Outbond berakhir. Mas-mas yang lucu-lucu itu (hehehe) ternyata menjadi pengawas barang-barang peserta. wah2, jahat banget aku.. Sebagai sie acara memang aku harus selalu standby dimanapun acra berlangsung.

Well, kembali ke acara setelah Outbond. Isho adlah jadwal yang berikutnya sebelum sesi bebas. Tapi, yang namanya anak kecil, yang masih katanya sih ababil (abg labil), mereka justru foto-foto dulu sebelum sholat. Aku bersama 2 temanku melancong ke sungai yang airnya, Subhanalloh jernih banget. awalnya agak takut, tapi daripada antri panjang untuk wudhu, lebih baik di sungai, sambil mendengarkan gemercik air yang sungguh menenangkan dan menentramkan jiwa. Dengan hati-hati kami turun ke sungai dan mengambil air wudhu. saat memasukkan kaki ke air, kami merasakan hawa yang sangat ingin tidak kami tinggalkan. Berikutnya gerakan-gerakan wudhu, Subhanalloh. Luar biasa. Segarnya air tak bisa terucapkan dengan kata-kata. Sungguh kebesaran Allah tiada tandingnya... Setelah wudhu, hampir saja aku terpeleset jatuh. Namun untung saja hanya kaus kaki sebelah kanan saja yang masuk ke sungai. Ah,,, sungguh pengalaman tak ternilai harganya...

Setelah sholat, diumumkan peserta dan kelompok terbaik selama acara. Ada lagi 1 penghargaan untuk peserta yang datangnya paling awal. Lani, dari Masjid Az-Zahra, begitu besar semangat adik yang satu ini. Ku bahkan iri dengannya. Undangan yang diberikan jam 6.30, namun dia datang jam 5.30, itupun sambil berlari-lari. Wajahnya sangat kalem, namun semangatnya membara... Subhanalloh...

Setelah ditutup, panitia sebenarnya ingin mengadakan sesi foto bersama. Seorang anak dari masjidku, Al-Huda, mencoba untuk mengambil foto 2x. Tapi sayangnya, foto kedua yang diambil gelap, dan tidak jelas, sehingga salah seorang dari kami menyesalinya. Bukan karena apa-apa, tetapi di foto kedua itu ada seseorang yang menurut temanku itu "sesuatu banget" di antara yang lain. hehehe, ada-ada saja...

Ya, kemudian perjalanan pulang. Panitia putri kembali berdiri. Kakiku yang sudah cenat-cenut hanya bisa menahan sakit. Hmm, ikhlas,,, Dan akhirnya, Alhamdulillah, kami pun sampai di rumah saat maghrib... Meski setelah itu ada sedikit konflik degan bapakku saat menjemputku, tapi pengalaman hari ini benar-benar tak terlupakan...

----

Yah, perjalanan tadi dievaluasi hari ini. Hari ini pun juag tak terlupakan, karena seminggu lagi Mbak yang jadi penggerak di BADKO akan menyempurnakan ibadahnya, yaitu menikah. Dan kami pun mengobrol soal pernikahan. Lucu juga, ngobrol sama yang sudah saatnya dan masih jauh dari waktunya. Adik-adik yang masih SMA itu ternyata memiliki karakter yang lucu, sehingga membuatku tak bisa berhenti tersenyum.

Sungguh,, aku bersyukur aku telah dilahirkan. Alhamdulillah ya Allah, semoga Kau memberi kami umur yang barokah,,, amiin....
well,, this is my first post after a year ago...
hehehe... ternyata lama sekali  nggak ngepost...
sebuah tulisan yang ditulis langsung,, inspirasi yang datang hanya mengintip, bukan menyeruak...

PEMUDI SEJATI

ini jati diri saya...
seorang yang penuh kekurangan...
perempuan?
sudah lewat,
wanita?
belum,

jadi, siapakah aku?
akulah pemudi...
perempuan tua
wanita muda

apakah peranku?
makin banyak manusia yang tak mengerti apa arti hidup
namun inilah pemudi,, pemuda berlabel perempuan
berjiwa lembut, berkarakter kuat dan cerdas
keibuan, dan tentunya memiliki tugas sebagai agent of change
sama dengan kaum lelaki

bukan feminisme yang dijunjung
bukan yang berlebihan yang pemudi harapkan
pemudi hanya berjuang, berjuang dengan usaha
usaha yang merupakan bidangnya
bukan mengambil ranah yang lain
inilah jalan kami,, jalan pemudi
berusaha dengan jalan kami sendiri..

pemudi di jalan kami...
jalan yang diridhoi ilahi..
diamnya berarti...
geraknya pasti...
inilah kami...
pemudi sejati...

Kamis, 02 Februari 2012

Dulu, Kini, Nanti

dulu…
kobarku memanas
sepanas matahari
bagai ke 45
sungguh…
rasaku dulu
begitu membara
begitu menyala
begitu melecutkanku
kini…
kobarku meredup
seredup lampu tidur
bagai ke zaman batu
entah…
yang kurasakan kini
begitu mengiris
begitu menyayat
begitu merubuhkanku
segala pikirku
segala buatku
segala sikapku
gamang kurasa
mungkin…
lebih kurasa
lampiaskan…
dalam kecewaku
harus…
ikhlas kuikrarkan
pasrah kujalani
sungguh dulu harus
namun kini entah
mungkin nanti memang
setitik hikmah kurasa
penyesalan dulu
datang kini
pelajaran nanti