Rabu, 20 Juni 2012

PETUALANGAN CINTA DINDA

Cinta. Satu kata yang unik, sulit untuk diterjemahkan. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini sepertinya aku mulai mencari arti kata cinta. Sejak mengenal lelaki itu, aku mengalami berbagai hal baru yang sangat berbeda dari biasanya. Mas Adi. Sosok yang sederhana, pendiam, tetapi menyenangkan. Membuatku selalu terngiang olehnya. Senyum ramahnya, mata sipit yang selalu terlapisi dengan kacamata minusnya, bahkan warna baju yang telah ia pakai. Yang paling kuingat adalah nasehat-nasehat bijaknya, semua masih fresh dalam ingatanku.
Aku mulai dirundung rindu padanya. Duhai pujaan hati, kapankah aku bisa bertemu denganmu lagi? Padahal baru seminggu tak bertemu, rasanya bagai setahun. Saat makan, minum, mandi, selalu muncul kamu, kamu dan kamu di pikiranku. Bahkan di saat aku tidur pun kamu tak pernah absen dalam mimpiku. Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Aku harus bertemu dengannya! Bagaimanapun, obat rindu yang paling manjur adalah bertemu. Aku harus menemuinya tanpa menunda-nunda waktu, aku harus berpetualang besok!
***
Malam yang dingin tak membuatku surut untuk menyusun strategi petualanganku besok pagi. Kususun rencana hingga detail. Dari uang saku yang kumiliki, caraku keluar dari kamar, kendaraan yang akan kutumpangi, hingga waktu yang kubutuhkan untuk melakukan semua rencanaku. Sudah kutulis dalam satu kertas dan kumasukkan ke dalam dompetku. Sangat rapih sekali kutata perlengkapan bepergianku. Kusiapkan pula pakaian yang akan kukenakan besok di ujung kasur. Kaos lengan pendek, celana jeans, jaket, dan topi. Aku mulai bimbang saat teringat orang tuaku, bagaimana jika mereka mengetahui anak semata wayangnya ini menghilang? Setelah berpikir lama, akhirnya kuputuskan untuk membuat sepucuk surat yang isinya seperti ini:

Teruntuk mami tercinta,
Assalamu’alaikum wr wb.
Mi, maaf Dinda mau pergi sebentar mencari teman Dinda. Tenang saja mi, Dinda gak akan lama. Jika Dinda sudah bertemu, Dinda akan segera pulang.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Salam sayang, Dinda ^^

Setelah selesai menulis surat itu, rasa kantuk segera menyergapku, dan aku pun tertidur.
***
Pukul empat pagi. Aku beranjak dari tempat tidurku, lalu segera mandi. Sebenarnya aku tak pernah bisa bangun sebelum subuh, tetapi kali ini menjadi sangat mudah. Mungkin karena keinginanku yang kuat beserta persiapanku yang matang untuk mencari pujaan hatiku. Aku semakin yakin akan berhasil menjalankan misiku. Untung saja semalam aku sudah mencari informasi tentang alamat yang sedang ditempati si dia dalam seminggu ini. Semalam aku telah mengirim pesan singkat ke sahabatku yang dekat dengan Mas Adi. Baik sahabat SMA ku maupun sahabat yang berada di Kebumen, tempat dimana Mas Adi sekarang tinggal. Jantungku berdegup kencang seiring kobar semangatku. Akhirnya, di subuh hari aku langsung mengendap-endap keluar rumah, dan untungnya papi dan mami belum keluar dari kamarnya. Langkah awalku sukses besar! Pasti akan sukses di langkah-langkah berikutnya.
Kuberjalan menyusuri gang perumahan mungil yang masih sangat ramai dengan kesunyian. Masih gelap pula. Setelah beberapa saat kususuri jalan, sampai juga aku di terminal. Beruntungnya aku, karena bus yang kucari sudah standby di dekat pintu keluar terminal. Kucari tempat duduk yang menurutku paling nyaman, karena aku akan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Di dalam bus baru ada lima orang termasuk aku. Tujuh orang, jika sopir dan kondekturnya dihitung. Jadi, sangat mudah sekali untuk mencari “the most comfortable seat” dalam petualanganku kali ini.
***
Perjalanan Solo-Kebumen membuatku terserang kantuk yang luar biasa. Akhirnya kuputuskan untuk tidur sekarang, agar nanti bisa segar saat bangun. Namun, beberapa saat setelah aku tidur, dengan terpaksa kubuka mataku perlahan karena pundakku serasa tertindih sesuatu. Ternyata tas punggung seorang lelaki bertopi hitam tak sengaja mengenaiku saat akan duduk di sebelahku. Kugeser sedikit posisi dudukku ke dekat jendela. Aku tak dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas, karena rasa kantukku masih merajalela. Namun, sekilas nampak familiar di mataku. Entahlah, aku masih malas berpikir. Kulanjutkan lagi tidurku yang sempat terganggu oleh “teman sebangkuku” di bus yang baru saja datang.
Tidurku diganggu lagi! Kali ini oleh kondektur. Katanya, bus akan tiba di terminal Kebumen sekitar tiga puluh menit lagi. Kali ini aku harus segera bangun, karena tinggal sebentar lagi aku akan bertemu pujaan hatiku. Hemm, ternyata teman sebangkuku sudah tidak ada. Rupanya dia hanya sebentar saja naik bus ini. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Mamiku menelepon. Angkat nggak ya? Kayaknya nggak usah aja deh, nanti malah dimarahin, disuruh pulang. Panggilan itu  kubiarkan saja hingga berhenti. Sesaat kemudian mamiku menelepon lagi. Aduh, bagaimana ini? Aku harus melakukan apa? Hemm, sepertinya aku harus segera mematikan handphone-ku dan menggantinya dengan kartu perdana baru.
***
Turun dari bus aku langsung mencari counter untuk membeli perdana. Aku mulai merogoh bagian depan tasku untuk mengambil dompetku. Namun, hasilnya nihil! Dompetku tidak ada! Gawat, bagaimana nasibku? Aku tak punya cukup uang untuk pulang nanti. Aku mulai panik lalu berlari kembali ke dalam bus yang aku tumpangi tadi. Aku bertanya pada kondektur, apakah ada dompet yang terjatuh atau tidak. Tetapi beliau mengatakan tidak ada. Aku pun mulai mencari ke tempat dudukku tadi. Hasilnya pun percuma, dompet itu tak ada di seluruh bagian bus. Aku mulai menangis, meratapi nasibku di kota orang. Sembari turun, kondektur itu menepuk-nepuk pundakku agar aku tabah menghadapi semua ini. Aku bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mulai kehilangan keseimbangan. Rasanya semua menjadi kabur, bahkan orang-orang yang berlalu-lalang sudah terlihat samar di mataku. Tiba-tiba semua rasanya menjadi gelap, dan aku tak tahu apa yang terjadi.
***
Bau minyak angin yang menyengat membuatku bangun. Ternyata aku pingsan di dekat bus, lalu dibawa ke dalam pusat informasi terminal. Aku berusaha duduk, meski kepalaku terasa pening. Kulihat sesosok pria bertopi hitam duduk di sebelahku. Setelah kuamati dengan seksama, ternyata dia adalalah “teman sebangkuku” di dalam bus tadi. Dan yang lebih membuatku terkejut, lelaki itu adalah pujaan hatiku! Pantas saja tampak familiar. Tetapi dia langsung keluar setelah menyuruhku kembali beristirahat. Aku ingin menyusulnya, apa daya badanku belum mampu. Tiba-tiba aku teringat dompetku yang hilang. Setelah kuperiksa tasku, kutemukan dompetku kembali, lengkap dengan isinya. Tak ada sebiji pun yang hilang. SIM, Kartu Pelajar, ATM, uang kertas, bahkan uang logam pun tak berkurang sama sekali. Aneh, siapa yang mengambil? Apa mau si pencuri? Menurutku, semua orang yang berada di dalam bus tidak ada yang mencurigakan. Justru, pria itu! Ya, pujaan hatiku! Apakah dia pencurinya? Apa sebabnya? Oh, kepalaku mulai pening lagi, lebih baik segera ke counter saja agar bisa mengganti perdana. Aku masih belum boleh berpikir terlalu berat.
***
Setelah membeli perdana baru, segera kuganti perdana lamaku dengannya. Aku langsung menelepon Nisa, sahabatku yang tinggal di daerah Kebumen, yang kemarin telah aku beri sebuah pesan singkat berisi permintaan tolong untuk singgah di rumahnya, karena daerah rumahnya sama dengan alamat Mas Adi yang diberikan teman SMA ku tadi malam. 10 menit kemudian, aku dijemput olehnya dan dibawa ke rumahnya. Sebuah rumah sederhana, sejuk, dan sangat rapi. Kuceritakan semua masalah yang kupunya, beserta serentetan kejadian saat perjalananku ke kota ini. Nisa hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang tertutup oleh selembar kain lebar. Dia memberiku isyarat untuk segera ke kamar mandi untuk berwudhu, kemudian beristirahat. Aku memberi tahu bahwa aku sedang tidak sholat. Tetapi, biasanya aku pun tidak melaksanakannya. Apa gunanya? Toh aku tak pernah sholat pun masih bisa hidup seperti biasanya, tak ada yang terjadi padaku.
Sore harinya aku terbangun oleh suara adzan Asar yang begitu merdu mengalun tepat di sebelah rumah. Indah sekali. Selama aku tinggal di desaku, yang kudengar hanya suara seorang kakek yang mengisi waktu adzan selama lima kali sehari, tak pernah digantikan orang lain. Pernah suatu kali aku berpikir, begitukah muslim? Penghormatan kepada orang tua justru menampakkan sikap ketidakpedulian akan kondisi kakek itu. Sebenarnya kakek itu dapat digantikan oleh orang yang setidaknya lebih muda, yang masih memiliki power suara. Hah, bodo amat, aku kan cuma pendengar, bahkan aku tak melaksanakan sholat. Ngapain juga mikir kayak gitu. Lalu aku pun kembali terlarut pada suara adzan yang memesona itu. Siapa si empunya suara? Aku harus mencari tahu.
Berbekal rasa penasaran, aku datang ke masjid di sebelah rumah. Aku melongok dari jendela, mencari tahu siapa yang adzan, tetapi tidak terlihat. Aku mulai berjalan menuju ruang sound. Dari luar terlihat bayangan seseorang berpeci, sambil meletakkan tangan ke telinganya. Setelah adzan selesai, orang itu keluar, dan aku pun dengan sigap sembunyi di balik tembok. Kulirik pelan-pelan dari balik tembok, penasaran sekali aku ingin melihat wajah muadzin itu. Saking kagetnya, hampir saja aku ketahuan pria itu. Lagi-lagi, dia adalah pujaan hatiku! Apa maksud semua ini? Aku makin tak mengerti. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah Nisa. Di perjalananku kembali, Nisa yang berjalan sambil membawa mukena datang menghampiriku. Dia bertanya sedang apa aku, tetapi aku hanya cengar-cengir saja. Lalu Nisa mempersilakan aku untuk masuk ke kamar lagi, karena wajahku masih terlihat capek. Aku pun ngeloyor pergi ke kamar, mengambil ganti, lalu mandi. Usai mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Ternyata Nisa masuk kamar. Nisa mengajakku ngobrol sedikit di tepi kasur. Dia mengajakku makan malam di ruang makan nanti setelah sholat Maghrib. Aku hanya mengiyakan saja penawarannya, aku justru sangat berterimakasih, karena diperlakukan seistimewa ini.
Seusai Maghrib, Nisa menyiapkan makanan di meja makan. Aku tak mau kalah, aku mencoba membantu sebisaku. Setelah selesai menyiapkan, Nisa memanggil seseorang di salah satu kamar. Sempat kuingat di suratnya yang pernah dikirim bahwa dia tinggal bersama kakak laki-lakinya, karena ayahnya telah meninggal, dan ibunya mencari nafkah sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Ah, aku sangat kagum padanya karena dia begitu tegar menghadapi semua. Dan aku juga semakin penasaran saja aku dengan kakak laki-lakinya yang katanya adalah seorang ikhwan. Sebenarnya aku tak tahu apa itu ikhwan, tetapi kata Nisa, ikhwan adalah laki-laki yang berpegang teguh pada syariat Islam, taat beribadah, dan sebagainya. Betapa terkejutnya aku, sampai-sampai hampir terjungkal dari kursi. Tiga kali sudah aku dibuatnya terkejut hari ini. Dia lagi! Pujaan hatiku! Akhirnya, aku tak bisa mengelak semua pertanyaan yang telah menyerupai benang ruwet di otakku.
“Lho, mas Adi? Mas Adi kakaknya Nisa to? Mas Adi yang tadi naik bus ya? Mas Adi yang tadi adzan ya?”, tanyaku tiada henti, mengeluarkan segala rasa penasaranku.
“Eh, Din, sabar donk. Masa’ nanya kok nggak ada jedanya. Ayo mas, dijelasin aja, biar Dinda nggak bingung lagi”, Nisa menengahi, sabar.
“Hem, sebelumnya, maaf ya, dik Dinda. Mas nggak bermaksud bikin kamu bingung, mas hanya ingin kamu sadar dengan apa yang telah kamu lakukan sampai saat ini. Apa alasan kamu datang kemari? Apakah lebih penting dari orang tuamu? Atau bahkan, apakah sudah mendapat ijin dari orang tuamu? Jika kamu tidak bisa menjawab, kamu berarti harus introspeksi diri, apa yang salah di diri kamu, udah ngerti belum?”, Mas Adi menjelaskan panjang lebar.
“Iya mas. Mmm, tapi nggak bisa jawab mas. Kan ini top secret. Eh, tapi pertanyaanku tadi kok belum dijawab?”, aku mencari-cari jawaban dari topik awal yang sempat hilang.
“Oh iya, lupa. Tapi, panjang banget lho, ceritanya, gak papa nih?”, tanyanya basa-basi.
“Aduh, mas, ndang cepet crita to, selak penasaran ini…”, aku ngeyel, tak sabar
“Oh, iya dik. Jadi, begini. Tadi pagi, ibumu telepon mas sekitar jam delapan, nyariin kamu. Katanya ibumu udah telepon kemana-mana, ke temen-temenmu, ke saudara-saudaramu, tapi nggak ada yang tahu. Akhirnya ibumu telepon mas. Mas awalnya bingung, kamu pergi kemana. Tapi Nisa bilang, kamu pergi ke Kebumen. Alhasil mas langsung cari kamu. Dari bus ke bus mas ngambilin dompet orang-orang yang mirip kamu, tapi langsung mas kembaliin lagi, biar nggak ketahuan. Sebenarnya cara yang salah, tapi gak papa lah, yang penting nggak ambil isinya. Nah, giliran waktu dompetmu mas ambil, mas taruh dulu di kantong tanpa mas baca identitasnya. Tiba-tiba dompetmu dicopet, terus mas kejar sampai turun bus dan akhirnya pencopetnya tertangkap. Setelah mas serahkan copetnya ke kantor polisi, mas langsung membuka dompetnya, dan langsung saja mas cari taxi untuk pergi ke terminal terdekat untuk nyusul bus yang kamu tumpangi tadi. Di perjalanan, mas telepon ibumu agar tidak khawatir, karena mas udah nemuin kamu. Ibumu bilang gak papa, asal udah di tempat yang jelas. Ibumu tu khawatir banget lho, Din. Jangan diulangi lagi ya?”, cerita Mas Adi.
“Ooooooo gitu to. Iya mas, janji. Tapi, ceritanya lanjutin doonk”, pintaku.
“Hem, iya deh. Terus, waktu mas sampai di terminal, mas lihat kamu jalan sempoyongan. Mas langsung lari nangkap kamu sebelum jatuh ke tanah. Mas teriak minta bantuan untuk ngangkat kamu ke dalam pusat informasi. Saat kamu masih pingsan, mas masukin dompetmu ke dalam tas. Waktu kamu dah bangun, mas pikir tugas mas selesai. Soalnya, yang mas tahu, kamu nggak punya sanak saudara di sini, jadi kamu pasti menghubungi Nisa. Dan ternyata, benar kan? Bahkan kamu berniat untuk di sini sementara. Dan lagi, kamu sudah silaturahim ke masjid sebelah, sudah tahu muadzinnya. Ckckck, Dinda, Dinda. Setelah mendengar semua cerita Nisa tentang kamu, mas jadi ingin ketawa sendiri”, Mas Adi tertawa kecil.
“Nisaaaa, kamu cerita semua? Aduh, yang bener aja?”, pipiku seperti terbakar.
“Eh, jangan salah Din, meskipun aku terbuka dengan masku, tapi aku nggak akan setega itu cerita tentang rahasiamu”, jawab Nisa sambil mengedipkan sebelah mata.
“Ooh, yaudah, Alhamdulillah, kalau gitu”, aku kembali tersenyum.
“Eh, emang tentang apa to Nis, Din? Oiya, Din. Ibumu juga titip pesan buat kamu, segera telepon, beliau masih khawatir”, kata Mas Adi.
“Oh, iya, bentar. Halo, Assalamu’alaikum mi? Iya mi, aku udah di rumah Nisa. Knapa mami nggak cerita kalau Mas Adi itu kakaknya Nisa mi? Eh, iya, lupa. Maaf banget ya mi, bikin mami khawatir. Eh, apa mi? Dinda boleh di sini seminggu? Wah, makasih banget ya mi! Oh, belajar ya mi, iya mi, iya. Yaudah mi, Dinda siap melaksanakan tugas. Dah mami, Assalamu’alaikum”, kututup telepon dengan senyum ceria.
“Din, beneran kamu disuruh nginep di sini seminggu?”, tanya Nisa yang tadi sedikit mendengar percakapan ibu dan anak tadi.
“Iya Nisaa, mami pengin aku berubah, mami pengin aku belajar dari kamu dan Mas Adi. Mami khawatir, gara-gara udah nggak pernah lihat aku sholat lagi, hehe”, aku nyengir kuda.
“Apa? Kamu nggak sholat kenapa? Berarti hari ini kamu bohongin aku?”, Nisa emosi.
“Eh, pssst, kalo hari ini beneran Nis, aku lagi nggak..”, bisikku.
“Eh, udah, udah, ini makanan mau dianggurin ampe kapan? Masa’ kita dari tadi cuman ngobrol aja? Nggak baik nyuekin makanan, yang di luar aja masih banyak yang nggak bisa makan, kita yang diberi nikmat lebih, harus memanfaatkannya dengan baik. Kita harus banyak bersyukur”, Mas Adi memberi ceramah singkat.
Inggih, Mas Adi!”, jawabku dan Nisa bersamaan. Lalu disambut dengan tawa bersama.
Hangatnya suasana makan malam bersama membuat hatiku tergerak. Aku harus berubah. Not just think about you, Mas Adi. But, think about your Creator! That’s the main point.
***
Besok paginya, aku mandi besar agar aku dapat sholat. Tentunya setelah mendapat petunjuk cara mandi yang benar. Hati ini rasanya sangat kering akan siraman rohani. Berkali-kali aku bertanya pada Nisa tentang hukum ini, hukum itu, tentang fiqh wanita, dan tentunya motivasi. Dari Nisa aku belajar berbagai ilmu agama yang belum aku ketahui. Dari Nisa aku belajar mengaji, memperlancar kekakuan lidahku dalam membaca firman Allah, Al-Qur’an. Nisa pun kagum atas kemajuanku yang pesat. Aku juga tak mengerti mengapa demikian, tetapi pasti Allah telah memberiku kemudahan dalam jalan mendekatkan diri padaNya.
Tak terasa, genap sudah seminggu aku di rumah teduh ini. Rumah yang penuh barokah, dengan dua penghuninya yang sholeh-sholehah. Ingin ku tetap tinggal di sini, tetapi sekolah telah menungguku esok hari. Orang tuaku pun juga sudah bolak-balik meneleponku untuk menyuruhku segera pulang. Dengan mencoba untuk ikhlas, aku berpamitan dengan dua orang yang sangat aku sayangi ini. Bukan sayang dalam hal yang menyesatkan, tetapi sayang sesama saudara muslim. Tak ada lagi rasa yang dahulu pernah memenuhi hatiku, rasa cinta yang sebenarnya adalah nafsu. Kini ku telah sadar bahwa cinta yang hakiki hanya dari Allah. Telah kumantapkan hati untuk mengenakan jilbab, dimulai hari ini, hingga akhir hayatku nanti. Setelah Nisa dan Mas Adi mengantarku ke terminal, akhirnya, perpisahan pun terjadi. Aku dan Nisa sempat menangis. Semoga kita diperkenankan untuk bertemu lagi di waktu lain yang lebih indah.
***
Setelah lulus program S2, aku bercita-cita untuk segera bekerja dan menikah di target usia maksimal 27 tahun. Alhamdulillah, saat ini aku masih berusia 25 tahun, sehingga masih ada kesempatan untuk mencari beberapa calon pendamping hidup. Setelah kuutarakan kemauan ini kepada mamiku, tiba-tiba beliau mengatakan bahwa beliau sudah menjahitkan baju pengantin untukku, bahkan sudah lengkap dengan pesanan undangan, catering, dan sebagainya. Aku kaget bukan main, untung saja baru pesan, belum jadi. Tapi, kenapa mami seegois ini? Aku belum tahu siapa yang akan menikah denganku. Bertemu saja belum, bagaimana mau menikah? Tetapi mamiku hanya tersenyum sambil menyebutkan tanggal pertemuan antara keluarga calon suamiku dengan keluargaku. Aku hanya berharap pada Allah. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hambaMu.
***
Hari yang mendebarkan itu datang. Dag-dig-dug hatiku saat membuka pintu kamarku untuk keluar. Tiba-tiba seseorang memelukku.
“Nisa! Gimana kabarmu? Ada perlu apa kemari, Nis?”, aku tak kuasa menahan air mata.
“Cup, cup. Calon pengantin nggak boleh nangis ya. Kan udah gede. Alhamdulillah, ana bi khoir. Kamu cantik banget, Din! Aku kemari ya mau silaturahim donk, silaturahim ke calon kakak ipar”, jawabnya sambil menitikkan air mata juga.
“Wah, bisa aja kamu. Eh, sama siapa ke sininya? Ngomong-ngomong, kok kamu tahu kalau aku mau menikah? Eh, maksudnya kakak ipar?”, tanyaku dengan nada bingung.
“Hem, mendingan, kita jalan dulu ke ruang tamu ya, semua jawaban dari pertanyaanmu tadi ada di sana. Ada yang nunggu kamu di sana tuh”, Nisa menuntunku ke ruang tamu.
Betapa terkejutnya aku, bahwa yang menungguku adalah Mas Adi, yang tak lain tak bukan adalah calon suamiku, dan ibunya. Percakapan yang terjadi adalah penetapan tanggal akad nikah dan resepsi yang rencananya akan dilaksanakan sebulan lagi, insya Allah. Petualangan cintaku dulu, kini telah dibingkai dengan lengkung-lengkung garis takdir yang begitu indah. Dan Mas Adi pun tersenyum sangat manis kepadaku.